Jumat, 06 April 2012

BirthDay Wishes for My Prince ^^





                                                                                                                             

 

생일 축하합니다








Today, You celebrate your Day of Birth, n so do I
Today There are more birds flying
Today is The Sky more Blue




One year older and a whole lot wiser.
Yesterday is history, tomorrow is a mystery but today is a gift, that's why it's called a present. Enjoy your present today,







My April Namja i'm your Gennie today so tell me your wish





Whatever your dreams, whether big or small, may this year be the year in which you have them all fulfilled.
May this year be the best of your life, until the next one. 

May every glowing candle on your cake transorm into a wish that will turn into reality.Today is not just the end of another year, it's the beginning of a new one.

May each and every passing year bring you wisdom, peace and cheer.
May this day bring to you all things that make you smile.




Happy birthday to my love!
A sea around my heart:
Part shelter, part enduring word,
Part mirror of my art.





Happy birthday to my love!
A song of joy for you!
Perhaps these words will touch the heart,
Perhaps these words will do.



Delivered by the silent tongue
As lovers sing the whole night long,


To you I wish to be a welcome
Harbor for your ocean,
Destiny and origin,
Aim of your affection,
Yearning of your motion.

May the sun's rays shine brightest on you today with the wind at your heals
Thinking what my life would be like if you had not been born today years ago, I realize the situation would not be pretty.
I am infinitely grateful that you are in my small life

oppa,


You age like cheese... You just keep getting smellier!
You can judge your age by the amount of pain you feel when you come in contact with a new idea


Happy BirthDay Happy BirthDay Happy BirthDay To You....
Saranghae Oppa ^^
      


Kamis, 05 April 2012

Caffe Latte my memory with you


Starring :
Kim Jaejoong
Park Hyeri
Seungri, GDragon
Genre : Romance
Straight : 13, General




Back to december, Seoul sudah memasuki winter suhu -4ᴼ C, salju pun berjatuhan layaknya kapas putih bertebaran di sepanjang jalan. Orang-orang berpakaian tebal guna menghindari dinginnya suhu yang menusuk kulit.
Di sebuah studio dengan setting cafe sedang berlangsung sesi pemotretan untuk produk makanan, Park Hyeri model, aktris, singer yang namanya saat ini sedang jadi perbincangan hangat menjadi ikon iklan kali ini. M ngambil tema winter pemotretan berjalan dengan lancar. Berbagai jenis masakan untuk winter tampak memenuhi lokasi. Hyeri sedang menyesap minuman ginseng hangat, asap mengepul menerpa dan menghangatkan wajah nya. Hyeri menampilkan berbagai ekspresi dan mimik ceria selama pemotretan, tidak sulit baginya menjalani pekerjaan yang sudah ia tekuni selama tujuh tahun.
“Selesai. Terima kasih kerjasama nya hari ini. Selamat menikmati holiday.” Ucap fotografer Kang disambut tepuk tawa dan rasa lega semua pihak yang terlibat.
Hyeri tersenyum puas, ia mendekati Mr. Kang.
“Gomawo songsaenim.” Hyeri membungkuk.
“Oh Hyeri, you welcome, saya juga senang bekerjasama kembali denganmu setelah pemotretan di London waktu itu. Saya harap lain kali kita bisa bekerjasama kembali.” Mr. Kang tersenyum hangat.
Hyeri  dikenal ramah dan berkepribadian hangat membuat siapapun yang bekerja sama dengannya akan sangat senang.
“Hyeri, satu jam lagi kita akan menghadiri red carpet premiere movie Kim Bum.” Manager Hyeri, Kim Junmi menyodorkan secangkir minuman hangat kesukaan Hyeri.
“Oh, invite card nya sudah kamu bawa?” Tanya Hyeri sembari melepaskan aksesoris dan mengganti kostumnya.
“Ini.” Junmi melambaikan card berwarna gold. “ Kau sudah baca news tentangmu di magazine yang aku bawa tadi pagi.”
“Oh, itu.” Hyeri sibuk mematut diri di depan kaca.
“Wartawan akan menanyakan hal-hal yang bersangkutan dengan berita itu, kau sudah memikirkan apa yang akan dikatakan?” Junmi membantu Hyeri membereskan pakaiannya, dengan seorang asisten lainnya.
“Hmm, entahlah, menurutmu aku harus mengatakan apa.” Aroma Caffe latte hangat memenuhi indra penciuman dan perasa Hyeri, ia memejamkan kedua matanya menikmati saat-saat cairan hangat itu melewati tenggorokannya. Ah dia sangat menyukai minuman itu, dimanapun dan kapan pun minuman jenis kopi selalu menemaninya beraktifitas. Karena sangat menyukai berbagai minuman kopi pernah disuatu wawancara seorang wartawan bertanya tentang kegemarannya itu, Hyeri menjawab sangat menyukai kopi dan berniat mendirikan House of Coffee suatu saat nanti.
Coffee addict begitu orang-orang menegenal Hyeri. Bahkan disebuah perjamuan yang menghidangkan makgeolli dan soju, dengan tanpa malu-malu mengatakan bahwa ia ingin secangkir coffee late. Karena kebiasaan itu managernya selalu menyiapkan minuman kesukaannya. Selain itu Hyeri selalu membawa mug lucu berwarna cream dengan gambar kartun anak lelaki mengulurkan tangannya.
“Kenapa harus mug ini, bukankah bisa beli mug baru.” Begitu protes Junmi suatu hari karena Hyeri minta sopirnya kembali ke apartemen demi menyadari mug itu ketinggalan di bak cucian, padahal mereka sudah jauh meninggalkan Seoul.
“Karena mug dan coffee yang membuat aku sampai seperti ini.” Hyeri menjawab dengan senyum terlukis di wajahnya dan pandangan menerawang.



12 years ago, Busan Junior High School
Seorang gadis remaja dengan rambut kepang memanggul tas ransel, mengenakan coat cokelat diluar seragam sekolahnya mengayuh sepeda di cuaca dingin peralihan autumn ke winter. Di depan sekolah ia menghentikan laju sepedanya menatap seorang anak lelaki seusianya yang juga memasuki kawasan sekolah, anak itu kebingungan sepertinya ia baru pertama kali memasuki lingkungan sekolah ini.
“Kamu anak baru ya?” Sapa gadis itu mengagetkannya.
“Oh iya.” Jawabnya dengan malu-malu. Saat itu lingkungan sekolah masih sepi.
“Aku Park Hyeri, kamu siapa?” Gadis itu terlihat ramah dan tulus.
“Aku Kim Jaejoong.” Jawabnya lembut.
“Kau mau kemana, nanti aku antar, aku sangat mengenali lingkungan disini.” Selain ramah gadis ini juga punya senyum yang hangat, untuk pertama kalinya Jaejoong cepat merasa akrab terhadap seseorang, ia mengangguk dan mengikuti Hyeri patuh.

“kau suka menari?” Tanya Jaejoong suatu hari saat keduanya sedang mengikuti kelas seni.
“Iya, aku ingin menjadi seorang artis terkenal seperti dia.” Hyeri menunjukkan foto Kim Sun Ah.
“Apa dia juga pandai menari?” Tanya jaejoong dengan polosnya, dan memandang Hyeri menyelidik.
Hyeri bangkit, bergerak berputar dengan gemulai.
“Tidak juga, tapi dia bisa menari, aku pernah melihatnya menari bersama Rain oppa, di serial-serial yang ia mainkan, ia sering melakukan adegan menari. Selain itu menari juga bagus untuk membentuk postur tubuh.”
Jaejoong mendengarkan dan manggut-manggut, tiba-tiba Hyeri mendekat di hadapannya.
“Kau sendiri apa cita-cita mu?”
“Aku.” Jaejoong terdiam dan berpikir, ia sendiri tidak tahu ingin menjadi apa, ia hanya balas menatap Hyeri tanpa berkata sepatah pun.

“Hyeri, kita sudah sampai.” Junmi menepuk pundak Hyeri.
Mobil memasuki kawasan diadakannya premiere film Kim Bum rekan Hyeri satu manajemen. Junmi dan seorang asisten Hyeri membantu sang superstar merapikan tampilannya.
Ketika pintu mobil dibuka kilatan blitz menghujani Hyeri, langkah anggun, senyum manis, dan lambaian tangan layaknya selebriti ia lakukan.
“Hyeri-sshi bagaimana hubungan anda dan pemain basket Mr. K, apakah itu benar?”
“Apa yang terjadi dengan James Lau, aktor China yang baru-baru ini menyatakan kesukaannya kepada anda?”
“Ms. Park apa benar anda dan Osamu selama ini kencan diam-diam? Apa hal itu yang membuat hubungan anda dan Jongki berakhir?”
“Bagaimana dengan project serial anda selanjutnya? Benarkah anda akan dipasangkan dengan mantan kekasih anda Jongki?”
“Ada gosip yang mengatakan Jongki menolak project ini karena ia masih marah karena anda berselingkuh?”
“Bukankah hubungan anda dan Jongki baru berjalan sebulan? Atau semua ini hanya rekayasa?”
“Bukankah seharusnya Jongki juga datang ke acara ini, dia dan salah satu lead aktris film ini rekan satu manajemen. Tapi kenapa dia malah memutuskan tidak datang, apa ini juga karena anda?”
“Gosip yang mengatakan anda dan Jongki tinggal bersama kemudian mengkhianatinya, bagaimana pendapat anda?”
Sepanjang red carpet tidak ada satu pun hal bagus yang wartawan tanyakan, Hyeri sudah menyadari hal ini akan terjadi, sebagai publik figure ini resiko yang harus ia hadapi. Ketimbang menjawab ia lebih memilih tersenyum dan melambaikan tangan ke arah fans yang menyemangatinya, menyapa mereka dengan ramah.
“Terima kasih, maaf kali ini saya hanya ingin menghadiri acara teman saya, bagaimana kalau pertanyaannya seputar acara hari ini saja karena ini bukan acara saya pribadi. Oleh karena itu mari kita hargai mereka yang punya acara.”
Setelah menjawab Hyeri berfoto sebentar, saat bertemu Kim Bum keduanya bercengkrama akrab berpose di depan wartawan.
“Terima kasih sudah datang, walau gosip gila itu sedang menyebar.” Bisik Kim Bum di telinga Hyeri.
“Haha, ayo lah ini sudah menjadi resiko pekerjaan kita.”
“Tapi aku juga penasaran, apa yang terjadi, jujur akhir-akhir ini berita dan postingan fotomu di dunia maya lebih heboh dari gosip-gosip lainnya.”
“Hmm kau ini, ayolah aku ingin cepat ke dalam, disini dingin sekalisepertinya akan turun salju lebat.”
Hyeri menunjuk ke langit yang mulai gelap, butiran salju kecil berjatuhan, angin bertiup tak ramah menusuk dingin.



“Tada....”
Jaejoong menyodorkan mug berisi kan caffe latte smile, asap mengepul hangat. Dengan segera Hyeri menggenggamkan kedua tangannya melingkari mug lucu itu. Ia baru saja selesai berlatih peran pentas drama untuk tahun baru nanti.
“lihat itu salju pertama.” Jaejoong menunjuk keluar jendela.
Keduanya melangkah mendekati jendela. Butiran butiran salju berjatuhan, sedikit demi sedikit menutupi permukaan jalan. Butiran kristal es itu meleleh saat menyentuh tanah, pecah dan berpencar, dedaunan pun tidak luput warna hijaunya berbintik-bintik putih dan tertutupi salju bak es. Dibalik jendela kaca keduanya menatap moment itu dengan menghirup caffe latte hangat beraroma wangi, hening dan penuh arti.

Junmi baru saja memasuki apartemen Hyeri, seharusnya hari ini Hyeri ada syuting sebuah cf tapi dua jam yang lalu Junmi dikabarkan kalau Hyeri flu dan tidak bisa mengikuti schedulenya dua hari ini.
“Hyeri, bagaimana keadaanmu?” Ia menghambur ke dalam apartemen berdesain biru laut itu. Tampak lengang dan sepi, ruang televisi tempat Hyeri biasa bersantai tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
“Hyeri, kau dimana? Apa kita perlu ke dokter?” Junmi menuju kamar, tapi Hyeri tidak ada, kamar mandi, ruang ganti, ruang lukis, semuanya kosong.
“Anak itu kemana, apa dia pergi ke rumah sakit sendiri.” Junmi menuju dapur dan mengambil air minum. “Teriak-teriak membuat tenggorokanku haus.” Saat memegang pintu kulkas mata Junmi menemukan secarik kertas.

“Junmi, aku hari ini ingin menenangkan diri sebentar, aku memang flu tapi masih bisa aku atasi sendiri. Tidak lama koq, hanya ingin merefresh pikiran sesaat. Hp sengaja aku matikan ^^”

“What, astaga anak ini, kalau terjadi apa-apa bagaimana? Kalau ada anti fans nya atau stalker, atau wartawan. Ya ampun aku harus bagaimana.” Junmi mengurungkan niatnya membuka kulkas, mengambil hp dan menghubungi beberapa nomor.
Samcheongdong,
Hyeri merapatkan mantelnya, dengan kacamata hitam, tanpa make-up dan kupluk, ia turun di stasiun Angguk menjejakkan kakinya kembali dikawasan walking street Samcheongdong. Neighborhood Seoul yang sering dijadikan destinasi untuk couple ngedate karena suasananya yang romanntis dan mengasikan dengan deretan coffee shop, museum, restoran dan butik. Hyeri lupa kapan terakhir kali ia bermain kesitu yang pasti Samcheongdong punya kenangan tersendiri yang tidak akan pernah lekang dari ingatannya. Jauh sebelum ia menjadi superstar seperti saat ini.



"Samcheongdong"

“Jadi kau memutuskan mengikuti audisi di manajemen itu?” Jaejoong menjajari langkah Hyeri. Samcheongdong kala itu sedang spring, keduanya memutuskan untuk pergi kesana setelah bebrapa saat menetap dan bersekolah di Seoul.
“Iya, besok pendaftaran akan dimulai. Kau sendiri bagaimana? Apa kau serius ingin mengikutiku? Menurutku kau punya bakat, piano, suaramu juga.”
“Sepertinya begitu, hey bagaimana kalau kita kesitu.”
Jaejoong menggenggam tangan Hyeri dan mengajaknya memasuki sebuah coffee shop antik yang tampak sepi.
“selamat datang. Kalian pengunjung pertama hari ini.” Seorang pria separo baya dengan pakaian santai menyapa mereka.
“Ne.” Jawab Hyeri.
Keduanya memasuki coffee shop yang tampak nyaman dan hangat, duduk di sudut menghadap air mancur kecil memberikan kesan tenang.
“Caffe latte khan.” Jaejoong menulis pesanan disecarik kertas.
“Yep.”
“Wait a minute okey.” Jaejoong meninggalkan Hyeri sesaat menemui pemilik coffe shop.
“Where do you go?” Tanya Hyeri saat Jaejoong kembali.
“Doing little bit thing, surprise.” Senyum jahil dan misterius Jaejoong membuat Hyeri manyun, ia paling sebel saat harus dibuat menebak-nebak tentang sesuatu.
“Ini dia pesanannya, silahkan dinikmati. Nona, kekasih anda sangat perhatian.” Pria separo baya itu mengedipkan sebelah matanya. Jaejoong terbatuk-batuk kecil, dan wajahnya mendadak merah padam.
“Masa muda memang sangat indah dan menggairahkan.” Pria itu berdendang sekenanya.
Hyeri menatap Jaejoong di depannya. Jaejoong menunduk dan berdehem kecil.
                                 Hwaitink for audition!!!!
Hyeri memandang caffe latte nya, ia memegang gagang cangkir sesaat, menatap Jaejoong lembut, berkata lirih.
“Gomawo.”
Painted the beautiful sky.
And one by one, drew each and every flower’s petals
Capturing the beating of our hearts,
Possibly can we make it shown in the picture?
Really, our spring was warm



Samcheongdong banyak berubah sejak waktu itu, semakin menarik namun suasana romantis masih kental terasa disetiap sudutnya. Pasangan-pasangan saling menggenggam tangan berbagi kehangatan di cuaca dingin, Hyeri menatap setiap sudut jalan mencari kenangan demi kenangan yang tak pernah memudar. Momen yang selalu ia rindukan mengiringi setiap langkahnya. Sepotong hati yang dicuri, lebih dari sepotong kenangan yang pernah ada.
Coffee shop itu, tempat dulu ia pertama kali menjejakan kaki di samcheongdong sekarang tampak tidak ada aktifitas terbengkalai.
“Ahjumma, apa yang terjadi dengan coffee shop itu? Apa pemiliknya pindah ke tempat lain?” Hyeri mendekati seorang ibu yang berjualan souvenir.
“Anio, tempat itu sudah lama tidak terurus, pemiliknya meninggal tapi bangunannya tetap dibiarkan seperti itu.”
“Oh, gomawo ahjumma.”
Hyeri menatap nanar bangunan itu, tiba-tiba matanya memanas, buliran airmata menetes pedih di hati.

“Hey, kau menerima pesan ku.”
Summer, Hyeri tergesa-gesa pergi ke Samcheongdeong demi menemui Jaejoong, ia berpikir ada sesuatu hal emergency yang terjadi.
“Ya, kau membuatku berpikir sesuatu yang salah terjadi padamu.”
Hyeri merenggut kesal, namun jauh dalam hati ia bersyukur Jaejoong baik-baik saj.
“Memangnya kau berpikir aku kenapa?”
“Ya sesuatu yang buruk, lagipula kau bolos dari training selama tiga hari, apa kau tidak takut dikeluarkan dari sekolah?”
“Oh itu, hey aku punya sesuatu. Pejamkan matamu ya. Sebentar. 1,2,3. Tada.”
 


“Wow, ini maksudnya apa? Kamu yang bikin?”
Hyeri takjub, menatap kagum ke latte art dihadapannya.
“Kau tidak percaya, itu tes dari Mr. Yo.”
“Tes? Tes apa?” Hyeri beralih menatap pemuda tampan dihadapannya.
“Tes untuk bekerja disini, dan aku berhasil.” Wajah tampan itu tampak sumringah energi kebahagiaan terpancar disana.
“Bagaimana dengan sekolah seni dan trainingnya? Apa kau bisa?” Hyeri khawatir.
“I’ll promise to do best. Yakso!”  Jaejoong menautkan kelingkingnya dan kelingking Hyeri.


Sejak itu Jaejoong bolak balik Samcheongdong-Seoul, terkadang Hyeri ikut menemaninya disaat kegiatan kosong.
“Jaejoong!! Bukankah kau sedang sakit, kenapa tidak mengabariku selama dua hari ini, tidak datang ke sekolah, dan sekarang malah menyeretku dari Seoul ke Samcheongdong.”
Hyeri protes sepanjang jalan, tapi entah apa yang merasuki Jaejoong, ia tidak berkata sedikitpun hanya diam dan sesekali tersenyum ringan.
Tangan mungil Hyeri tenggelam digenggaman tangan besarnya.
“Ya, kau tak mau bicara, coba aku pegang dahimu. Ya tuhan, bisa-bisa kau demam. Kalau kau sakit bagaimana.” Hyeri panik.
“Khan masih ada kau.” Sahutnya dengan lirih. “Ayok, kita sudah sampai, tapi tutup matamu ya.”
“Ah, kau selalu saja, kali ini apalagi.”
Meskipun mulutnya mencerocos namunia tetap menuruti perintah Jaejoong.
“1,2,3. Tadaa..”
Hyeri membuka matanya dan takjub melihat seisi coffee shop tempat Jaejoong bekerja disulap dengan tema Happy Birthday.
“Saenggil Chukahamnida uri next superstar Park Hyeri.” Jaejoong dengan suara serak menggunakan  pernak pernik ulang tahun layaknya anak kecil.
“Woaa.” Hyeri terdiam, ia lupa hari lahirnya, sejak memutuskan ke Seoul dua tahun lalu bersama Jaejoong ia berlatih dengan keras dan tekun, bergaul pun hanya kepada rekan sesama trainer dan Jaejoong. Impiannya untuk menjadi superstar membuatnya melakukan banyak keputusan yang harus ia pilih.
“Gomawo.” Ia tidak mampu menahan haru, matanya berkaca-kaca.
Jaejoong mendekatinya, membawa kue ulang tahun dengan lilin menyala.
“Make a wish.”
Hyeri memejamkan matanya sesaat, mengucapkan keinginan dalam hati yang terdalam, membuka mata melihat Jaejoong di hadapannya, dan meniup lilin.
“Chukae!” Suara-suara riuh tiba-tiba memenuhi coffee shop. Hyeri terkejut melihat kedatangan teman-temannya di Busan yang ia rindukan berdatangan.
“Hyeri, we miss you, Happy BornDay.”
“Happy BirthDay uri Hyeri, wish you be a great superstar.”
Dan berbagai ucapan menghampiri Hyeri. Pelukan penuh haru dan rindu menyapanya. Diantara teman-temannya, Jaejoong menatap puas, Hyeri menatapnya penuh arti.
“Gomawo. Untuk semuanya.”
Hyeri menghampiri Jaejoong di pantry sedang meracik sesuatu, menjauh dari hiruk pikuk masa.
“Anything for you. Lagipula  jika kau sudah terkenal nanti akan susah melakukan hal-hal seperti ini.” Jaejoong menyelesaikan racikannya.
“Ya, aku tidak akan mengabaikan kalian, bukankah kau juga akan sama sepertiku.”
“hmm, menjadi artis itu bukan hal mudah, banyak pengorbanan, mungkin kau tidak ingin tapi hal itu harus dilakukan demi karir, terutama jika kau menjadi pendatang baru. Untuk membuka jalan dan karir akan banyak hal-hal yang tidak terduga, seperti menyembunyikan kekasih, cerita masa lalu.”
“Sepertinya kau melakukan banyak riset tentang dunia selebriti lebih dari aku.”
“Itu karena aku memikirkanmu.”
Hyeri  tertegun, Jaejoong sesekali batuk.
“Hey, apa aku boleh mencobanya?”
Hyeri menatap hasil karya Jaejoong barusan.

                                                        

Tanpa menunggu persetujuan Jaejoong, Hyeri mengangkat cangkir dan menikmati minuman itu dengan nikmatnya.
“Hmm it’s delicious, ngomong-ngomong ini jenis apa? Aku baru pernah menikmatinya.”
“Itu Caramel Machiato, suka?” jaejoong menatap Hyeri.
“Entahlah, apa menurutmu enak?” Hyeri balik bertanya.
“Ya, kau ini, bagaimana aku tau.”
“Caranya.”
Masih dengan aroma caramel macchiato, Hyeri mendekati Jaejoong, berjingkat, menarik leher Jaejoong ke arahnya, one step closer, bibirnya mengecup Jaejoong pelan.
Jaejoong terpaku sesaat menatap gadis dihadapannya yang memasang wajah polos tak berdosa.
“Bagaimana, enak?” Hyeri menggoda. “Masih belum bisa, bagaimana kalau.”
Lagi, Hyeri mengecup Jaejoong kali ini lebih lama dan intens. Jaejoong membalas kecupan itu dan melingkarkan lengannya dipinggang Hyeri.
“Ya, aku sedang flu, nanti kamu tertular lho, aku gak berani jamin.”
“Sebagai imbalan apa yang kau lakukan hari ini, next superstar Park Hyeri rela berbagi flu denganmu, juga untuk caramel macchiato nya.”
“Kau ini.” Jaejoong menjitak pelan Hyeri dan merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya.
There’s a first kiss under Fullmoon
Springfield with cherry blossom
Sweet love between you and i
Smell caramel macchiato in my lips, but this kiss more sweet ever that i feel

Ekspresi Junmi menatap kepulangan Hyeri layaknya ibu tiri kepada anak tiri yang bandel.
“Wajahmu menakutkan, kau seperti monster yang akan memakan gadis cantik polos, lugu dan tak berdosa.” Hyeri melewati Junmi, menanggalkan sepatunya memasuki apartemen menghempaskan badannya di sofa.
Junmi tahu, ia sangat hafal watak Hyeri tidak ada gunanya memarahi dan menceramahi gadis itu, ia sudah cukup dewasa namun keras kepala lebih dominan.
“Apa sudah baikan? Apa perlu ke dokter?”
“Aku baik-baik saja, ini flu biasa. Istirahat dan makan akan sembuh sendiri koq.” Hyeri memejamkan matanya.
“Ini makan dulu, tadi ibu ku membuatkan sup ginseng dan ini vitamin. Ayo.” Junmi menepuk pundak Hyeri mengajaknya ke meja makan.
Dengan beringsut Hyeri patuh, ia akan langsung menuruti perintah Junmi jika itu berhubungan dengan ibunya. Ibu junmi sudah seperti ibu sendiri untuk Hyeri, hidup sebatang kara di Seoul membuatnya merindukan sosok ibu yang berada jauh di Busan.
“Bagaimana kabar ibumu, sudah lebih baik dari sebelumnya?”
Hyeri mengaduk sup ginseng di depannya.
“Iya, sudah jauh lebih baik. Ngomong-ngomong kau kemana hari ini? Samcheongdong lagi?”
“O.” Jawab Hyeri pendek.
“Apa sudah melihat lokasi pembuatan MV Big Bang untuk bulan depan, lokasinya di Samcheongdong.”
“Benarkah.”
Junmi bisa mendengarkan nada terkejut bercampur ekspresi gembira di jawaban pendek barusan.
“Iya, aku pikir kau sudah tahu, pembuatan MV diundur bulan depan karena jadwal tur Big Bang yang belum selesai.”
“Apa materi dan tema MV nya sudah diberitahukan?”
“Belum, GD bilang ia akan mengirimkan materi lagu untuk kau dengarkan terlebih dahulu, lalu mendiskusikan akan seperti apa format MV nya nanti.”
“Oh, nanti aku ingin sekalian mampir ke YG Building, sudah lama tidak kesana.”
Hyeri menyelesaikan makannya.
“Hari ini schedule ku kemana saja?”
“Hari ini kau kosong, aku akan ke kantor produser dan sutradara The Last Spring bilang ada yang ingin mereka diskusikan.”
“Apa aku perlu ikut?” Hyeri membawa mangkuk dan mug ke bak cucian.
Air mengalir dari keran, melihat Hyeri mencuci perabotan bukan hal baru untuk Junmi, itu sudah menjadi kebiasaannya meskipun ia seorang superstar.
“Tidak, hanya pembicaraan kelanjutan materi dan naskah. Nanti kalau ada apa-apa aku kabari. Aku pergi dulu ya.”
“Okey.”   Hyeri melambaikan tangannya mengiringi langkah Junmi menghilang dibalik pintu apartemen.

One month later.
“Cut!” Teriak sutradara. Ia menghampiri Hyeri dan Seungri di setting. “Gerakanmu harus lebih lentur lagi, dan tanganmu seperti ini.”
Hyeri dan Seungry mendengarkan arahan, keduanya mengikuti petunjuk sutradara dan pengarah gaya.
“Oke, good, next GD and TOP.”
Sutradara dan kru berganti setting.
Hyeri dan Seungry keluar setting.
“Apa kau tahu tempat coffee shop yang bagus di Samcheongdong? Kau khan coffee addict.” Seungri mengganti jaketnya dengan kaos santai.
“Uhm okey, let’s go.” Jawab Hyeri layaknya anak kecil mengajak temannya bolos sekolah untuk bermain.
Hari kerja suasana Samcheongdong tidak terlalu ramai, Seungri dan Hyeri kompak menggunakan kacamata serta topi.
Keduanya menyusuri Walking street Samcheongdong. Beberapa coffee shop mereka lalui namun Hyeri tidak menunjukan tanda-tanda ia akan berhenti di salah satu tempat itu.
Di sebuah bangunan, Hyeri menghentikan langkahnya, Seungry yang keasikan memperhatikan pemandangan sekitar tidak menyadari ia meninggalkan gadis yang berjalan disampingnya.
“Hyeri.” Ia terkejut saat menyadari ia hanya sendiri. Saat berbalik ia melihat Hyeri terpaku lalu melangkah menuju sebuah bangunan mungil sederhana.




Sebulan yang lalu coffee shop itu tampak tidak terurus, sekarang tampak ada kegiatan disana. Beberapa pria sedang mengecat, mengangkat kursi, meja dan merenovasi seisi coffee shop.
“Annyeonghaseyo agashi.” Sapa seorang pria ramah.
“Apa coffee shop ini akan buka lagi? Apa pemilik lamanya masih ada?” Hyeri menatap sekeliling berharap ada wajah yang ia kenal, namun sia-sia tidak satupun dari pekerja itu yang ia kenal.
“Iya, kami akan shoft openning tiga minggu lagi. Sepertinya anda mengenal pemilik coffe shop sebelumnya.” Pria itu menjawab dengan ramah.
“Saya pelanggan coffee shop ini, tapi saya tidak tahu kalau tempat ini tutup beberapa waktu lalu. Dan tadi anda mengatakan pemilik sebelumnya, jadi sekarang coffee shop ini sudah berpindah tangan?”
“Benar agashi, sekarang pemilik coffee shop ini sudah bukan Mr. Yo lagi.”
“Ada apa Hyeri?” Tanya Seungri bingung. “Coffee Shop ini belum openning, kenapa kita kesini.”
“Begitu.” Hyeri tampak lemas, ia menatap seisi coffee shop dengan hampa. Tempat penuh kenangan itu akan segera hilang, meja tempat biasa ia menunggu Jaejoong bekerja juga tidak tampak. Meja yang dengan usil ia mengukir nama mereka.
“Tapi kalau agashi ingin menghadiri shoft openning bisa kemari, bersama tuan ini juga, karena pemilik tempat ini akan turun tangan langsung melayani tamu pada hari itu.”
“Oh, thank’s, aku akan mempertimbangkannya. Permisi.” Hyeri membungkuk lalu melangkah gontai menuju pintu.
Samcheongdong sekarang tampak tidak sama lagi, jalan-jalannya, coffee shopnya, cuacanya, terlebih dengan Seungri disampingnya. Hyeri lunglai, energinya tersedot entah kemana, serenade kelabu berdendang entah dari mana asalnya.



“Apa? Kau serius.” Hyeri setengah berteriak, ini untuk pertama kalinya ia bersikap frontal di depan Jaejoong. “Kau serius berhenti dari training, lalu kau akan kemana?”
Jaejoong menghela nafas, keduanya berbaring menatap langit kelabu di suatu hari saat angin Autumn berhembus kering.
“Selama ini aku selalu mengikutimu, aku pikir akan menemukan mimpiku bersamamu, tapi sejauh ini aku berjalan tidak ada kemjuan yang aku lakukan.”
Ruang kosong terhampar seirng kalimat itu berakhir.
“Bukankah kau sangat berbakat, mentor mu mengatakan itu, permainan pianomu berbeda dari yang lain, aku rasa hanya menunggu waktu kau juga akan segera debut.”
Hyeri memilih kalimat dengan hati-hati, ia takut melukai Jaejoong, berapa musim telah mereka lalui hingga seperti saat sekarang, tidak terhituing detik dan menit yang telah mereka lalui bersama, mengejar mimpi ke Seoul meninggalkan Busan, hidup mandiri.
“Benar, tapi itu karena aku terbiasa memainkan piano sejak aku kecil, aku menikmatinya tapi tidak menemukan tantangan dan passionate saat bermain. Aku hanya seperti seseorang yang terpaku pada partitur, tidak mengekspresikan apa yang ingin aku temukan jauh di dalam diriku.”
“Apa ini karena aku akan segera debut? Apa aku membuatmu kesepian dengan semua yang aku capai.” Hyeri menghadap Jaejoong, tangannya terulur membelai rambut halus yang menutupi separo mata Jaejoong. Karena kesibukannya ia sampai lupa memperhatikan kapan terakhir kalinya Jaejoong memangkas rambutnya.
“Bukan, aku hanya merasa kau telah menemukan apa yang kau inginkan, sedangkan aku, masih tetap seperti ini. Yah aku egois karena sebagai lelaki tidak ada yang bisa akku banggakan, aku takut jika nantinya aku hanya berakhir seperti ini. Aku juga tidak mungkin kembali kepada ayahku setelah kabur ke Seoul, kau tahu aku tidak ingin berada dibawah bayang-bayangnya, penerus Kim corporation. Aku ingin mandiri, aku ingin orang tahu bahwa aku mampu untuk menjadi sesuatu.”
Hyeri bisa mendengarkan semangat yang menggebu disana, ia tidak tahu harus berkata apa, saat ini ia hanya ingin berada di pelukan pria itu, merasakan kehadirannya, menghirup wangi aroma tubuhnya, mendengarkan degup jantungnya, merasakan hangat hembusan nafasnya.
“Apa rencanamu?” Hyeri mendongak menatap Jaejoong, sungguh betapa hangat pelukan itu ia berharap tidak mendapatkan jawaban yang membuatnya sedih.
“Aku ingin menjadi barista, belajar tentang kopi ke Itali.”
“Itali, itu jauh sekali, bagaimana kita bertemu, aku harus bagaimana?”
Hyeri menggigit bibirnya pilu, ia tidak bisa membayangkan hari-harinya di Seoul tanpa Jaejoong, ia tidak punya siapa-siapa tempat berbagi dan mengadu.
“Kita bertemu saat aku sudah menemukan impian ku, dan aku merasa siap sebagai seorang lelaki untuk menemuimu.”
“Berapa lama? Bagaimana kalau sesuatu terjadi? Kau berikan alamatmu disana, aku akan menabung dan sewaktu-waktu akan kesana menemuimu.”
Berbagai hal buruk berkelebat di benak Hyeri.
“Tidak, aku tidak ingin kau menemuiku, karena jika aku melihatmu maka tekadku akan lemah. Lagipula kau akan segera debut, tidak akan ada waktu luang sebanyak ini. Kesibukan akan membuat perhatianmu teralihkan. Aku yakin kamu kuat, bukankah ini adalah mimpimu, sebentar lagi impian itu akan terwujud, jadi jangan melakukan hal bodoh.”
“Aku tidak akan melupakanmu, aku tidak akan mengesampingkanmu, percayalah kau akan selalu berada diurutan teratas orang penting di hidupku.” Hyeri meyakinkan Jaejoong untuk tidak berpikiran negatif.
“Aku tahu, karena itu ingatlah aku dihatimu, jika saatnya tiba kita akan bertemu di garis finish, my little star. Kau bisa kan berjanji.”
Jaejoong mengecup kening Hyeri.
Janji itu terjalin, dengan kelingking yang saling bertaut serta isak tangis sedih Hyeri di pelukan Jaejoong.

Surel dari sebuah perusahaan sedang terpampang di layar notes Hyeri, ini untuk kesekian kalinya ia menatap surel itu. Merk kopi ternama ingin menjadikannya model cf untuk peluncuran produk pertama mereka secara global.
“Bukankah ini salah satu keinginan yang selalu kamu ucapkan saat wawancara?”
Junmi masuk membawa secangkir caffee late.
Hyeri berputar menghadap Junmi, ekspresinya terlihat senang luar biasa.
“Kau tahu, karena itu aku sangat senang, sampai aku terus menerus membaca surel ini tidak percaya ini nyata. Junmi!!! Gyaaaa!!! “ Hyeri memeluk Junmi dan berjingkrak girang.
“Okey okey n now, bukankah disitu dikatakan bahwa akan tetap diadakan audisi, kau bukan kandidat satu-satunya.”
“Aku tidak perduli, aku akan menunjukkan kalau aku pantas dan mampu melakukannya.”
Junmi tertawa dan menggelengkan kepala melihat tingkah polah Hyeri.
“Oh iya, ini ada undangan shoft openning dari coffee shop di Samcheongdong.” Junmi melemparkan invite card berwarna cream-gold.
“Untuk ku.”
Hyeri mengambil invite card dan membukanya,
“House of Coffee. Samcheongdong, siapa yang mengirimkannya?”
“Entahlah, mungkin dari salah satu penggemarmu, tadi pagi dikirimkan ke office.”
“Bagaimana mungkin mereka mengirimkan invite card tepat di hari pelaksanaan, seharusnya mereka mengirim dua hari yang lalu.”
“Hey, kau khan sedang free, pergi saja. Tuan Ma bisa mengantarmu.”
“Ah, bagaimana ini, katanya akan ada badai salju nanti malam. Bagaimana kalau aku terkurung disana.” Hyeri berputar-putar di depan Junmi.
“Menginap saja disana. Kau kan bukan anak kecil lagi.”
“Tapi kau tahu sendiri aku susah beradaptasi di tempat baru dan asing.”
Setelah berdebat sengit dengan Junmi, akhirnya disini lah Hyeri berada. Di depan Coffee Shop yang dikenalnya namun semua tampak berbeda, dari dekorasi tempat hingga nama. Suasana coffee shop tampak lengang hanya beberapa waiter yang sedang bersenda gurau.
“Annyeong haseyo.” Hyeri membuka pintu coffee shop sontak pria-pria itu melihat ke arahnya dan langsung ,menyambutnya dengan ramah.
“Silakan Agashi.” Seorang pria menuntun Hyeri ke kursi.
“Gomawo.” Hyeri tersenyum. Tangannya langsung menyambar list menu yang ada di meja. Namun belum sempat ia memesan, sepaket hidangan coffee diantarkan ke mejanya.
“Silahkan dinikmati agashi, karena ini shoft openning jadi kami akan memberikan pelayanan special.”
“Latte Machiato Vanilla.” Hyeri berseru girang saat ia selesai menyesap dan menikmati sajian barusan.
“Bagaimana dengan ini Agashi.” Pria itu datang lagi dengan dua cangkir.
“Caffee Latte, Caramel Macchiato.” Dengan gamblang dan mudah Hyeri menjelaskan. Semua hidangan dan pertanyaan para waiter ia jawab dengan mudah.
“Agashi, anda benar-benar menyukai coffee, tahukah anda pemilik coffee shop ini menjadi barista karena orang yang ia cintai sangat menyukai coffee, katanya ia ingin melihat kekasihnya tertawa senang dan tersenyum hangat setiap menikmati coffee buatannya.”
“Benarkah, wah gadis itu kelihatan sangat beruntung sekali.”
“Anda bisa menemui barista di kitchen mungkin ada hal menarik yang bisa anda peroleh darinya.”
“Gomawo, saya merasa sangat terhormat.”
Hyeri menuju kitchen, saat pintu terbuka tercium aroma caramel, kopi, coklat, waffle, menggoda indra penciuman Hyeri.pria itu disana, sedang menyeduh sesuatu Hyeri bisa melihat punggung tegapnya diantara kepulan asap dari air panas. Hyeri merasa jantungnya semakin berdetak cepat memberi sinyal sesuatu yang ia inginkan ada disana.
One step closer, pria itu berbalik mengajukan secangkir coffee tepat di depan Hyeri.
“Wanna try?” Suara itu, senyum itu, tangan itu. Hyeri nyaris berlari menghambur memeluknya, namun secangkir kopi menghalanginya.


“Kemana saja kau selama ini? Apa kau baik-baik saja? Kenapa tidak pernah memberi kabar?” Hyeri mencecar Jaejoong dihadapannya dengan pertanyaan bertubi-tubi.
“Menyenangkan sekali rasanya seorang superstar Hallyu Wave begitu merindukanku.” Jaejoong menyilangkan kedua tangannya di dada menatap Hyeri dalam.
“Lihatlah apa yang terjadi dengan dirimu, kau tampak berubah.” Hyeri balas menatap pria itu.
“Aku hanya berusaha menahan diri untuk tidak jatuh terlalu dalam memikirkanmu.”
“Jadi, kau melupakanku.” Hyeri menghentikan aksinya menyeruput caffe latte.
“Tidak, aku hanya mengendalikan diri agar bisa terlihat membanggakan saat berada di sampingmu. Dan selamat kau memang pilihan yang tepat untuk menjadi model cf House of Coffee.”
“Jadi, itu semua ide mu, atau kau bekerja di perusahaan kopi kenamaan itali itu.”
“Aku pewaris sah nya, kau ingat Mr. Yo, ia hidup sebatang kara, karena sakit ia memberikan semua sahamnya di perusahaan itu kepadaku berharap aku tidak melakukan kesalahan yang pernah ia lakukan, dan menjadikan kopi sebagai sesuatu yang bisa membuat orang yang aku cinta bahagia.”
“Kau jahat, setelah selama ini, rasanya aku seperti dipermainkan.”
“Aku selalu mengawasimu dari jauh, aku sudah merencanakan semua ini jauh-jauh hari. Kau ingat sepuluh tahun lalu saat kita pertama kali bertemu kau seperti magnet yang menarikku membuatku selalu ingin mengikuti kemanapun kau pergi, seiring waktu aku ingin menjadi orang yang bisa melindungimu.”
Hyeri menitikan airmatanya ini sungguh di luar dugaannya, hampir saja ia menyerah.
“Sebentar lagi akan turun badai salju, aku sengaja mengurungmu disini karena sepertinya aku sangat tidak bisa melepaskanmu setelah melihatmu dengan mata kepalaku sendiri.”
“Bagaimana kalau badai saljunya berhenti.”
“Aku akan tetap mengejarmu kemanapun kau pergi karena sekarang hanya kau yang aku inginkan.”
Hyeri menghambur memeluk Jaejoong, ia sangat merindukan pria itu, selama ini ia merasa sangat keosong namun akan terasa hangat jika merindukan Jaejoong. Ia tidak peduli badai salju atau hal lainnya karena saat ini hal yang diinginkannya sudah ada dihadapannya.




baby you’re caramel macchiato
near my lips, your scent is sweet
you’re more than the scent of caffe latte
The warmly falling love
The warmth that melts the two holding hands
White snow in the sky
The warm winter that is like you
You fall in white, reachable to my hands
The snow is like you baby snowing
The words, I love you, are common words but
They are words that I saved up for today

~~~~~~ The End~~~~~~~

Rabu, 04 April 2012

TIME MACHINE


Cast
Kania Raisa
Park Inha- inha Kazehaya-
Takeshi Hirozawa

                                                                     Chapter 1 

Dalam hidup ada banyak garis takdir yang saling bersinggungan dan bersilangan. Seperti meniup debu  dengan tangan terbuka, berhamburan tak berjejak, seperti angin yang berdesir tidak terlihat namun terasa. Kita yang seperti titik titik kecil saling berjauhan ternyata merupakan sumbu ordinat yang saling terhubung bagaikan sumbu X dan Y membentuk sudut-sudut di kertas putih. Seperti grafik yang turun naik, kadang tidak terkendali, kadang tampak tenang. Seperti menari dengan irama riang, seperti tarian pedang indah namun berbahaya di dekati, meskipun kita ordinat X dan Y yang berbeda namun di ordinat yang sama kita bertemu tanpa kita tahu tanpa kita duga. Jika takdir ini berujung menuntunku padamu maka aku harap meskipun grafik yang timbul tidak beraturan namun dibalik itu terdapat keselarasan yang kuat agar aku merasa pantas berada disampingmu dan menerima kehangatanmu.

Raisa memukul-mukul lututnya pelan dengan kepalan tangan mungilnya. Sudah lebih dari 3 jam ia bergaya mengikuti arahan potografer tapi sepertinya ia tidak mendapatkan hasil yang diinginkan. Suasana pemotretan hari itu outdoor, Raisa hanya salah satu dari sekian model yang turut serta di even itu. Dia bukan model utamanya, hanya model pendukung tapi sepertinya semua kesalahan dilimpahkan kepadanya.
“Ya, kamu yang bergaun kuning, bukankah saya sudah katakan lemaskan lututmu, angkat sedikit dagumu, buat dirimu nyaman, bukan tegang begitu.” Bentak fotografer dengan suara kasar.
Semua mata memandang Raisa, ada yang sebal, ada yang iba, ada yang penasaran.
“Apa dia bodoh, kenapa sedari tadi ia selalu melakukan kesalahan.”
“Ya’ampun dia lagi dia lagi. Kenapa dia tidak bisa melakukan hal yang benar sich.”
“Cih, wajahnya saja yang cantik, sepertinya dia benar-benar tidak punya bakat.”
Raisa merasa kupingnya akan segera menjadi semerah cabe matang mendengar semua celetukan itu, astaga kenapa sepertinya semua menganggapnya gadis bodoh, apa yang salah pada fotografer itu sejak tadi ia sudah memberikan performa terbaiknya, lagipula jika dia memang fotografer handal apa susahnya ia mengedit dan memperbaiki hasil akhirnya dengan sentuhan yang indah.
“Break, kita lanjutkan 15 menit lagi.”
Fotografer itu meninggalkan kursinya sembari menatap Raisa tajam.
Raisa merasa bulu kuduknya berdiri, dunia modelling benar-benar segila ini kah, ia memang bukan model terkenal hanya model biasa yang terkadang turut serta di even-even yang juga biasa. Kali ini ia beruntung bisa bergabung di pemotretan salah satu brand pakaian kasual meskipun bagiannya tidak banyak. Entah kenapa ia tidak tahu fotografer itu malah memfokuskan diri padanya sejak shoot pertama.
Raisa berjalan gontai meninggalkan set pemotretan ia merasa akan segera meledak jika lama-lama berada disitu, ia perlu udara segar, udara disitu tercemar dengan mulut-mulut pedas yang sambar menyambar. Ia merasa seperti ikan kecil yang berenang tak tentu arah karena lingkungan yang ia datangi tercemar limbah yang menyesakan.
Semua mata memandang Raisa dengan jijik juga merendahkan. Ia bukannya tidak tahu, ia hanya mencoba tidak peduli. Apapun yang orang katakan tentang dirinya ia akan menutup telinga dan terus melangkah maju, demi uang tidak ada obsesi lain dalam hidupnya hanya uang.
Gosip-gosip tak sedap yang beredar pun ia anggap lalat-lalat pengganggu tanpa perlu ia beri perhatian. Hidup seperti ini memang tidak mudah rasa sepi dan sendiri juga perasaan terkucilkan kerap ia alami, tapi ia sudah bertekad untuk menanggung semuanya sampai akhir.
Bug!! Raisa menabrak seseorang, ia mendengar jeritan yang bukan dari mulutnya.
Dasar aneh Raisa yang tersungkur kenapa dia yang mengaduh seperti singa betina lapar.
Raisa menatap pergelangan tangannya, sial ada lecet disana dan baju yang ia pakai adalah properti perusahaan. Belum sempat ia bangkit sebuah tangan merenggutnya, membuatnya berdiri terhuyung-huyung hilang keseimbangan.
“Bodoh, kau tidak lihat apa yang barusan kau lakukan, baju ini akan digunakan untuk sesi pemotretan selanjutnya, dan ini coba kau lihat kau membuat minumanku tumpah.”
Gadis itu semakin mengeluarkan caci maki membabi buta, membuat Raisa seperti seonggok kotoran yang nyasar di etalase berlian mahal. Dia model utama pemotretan kali ini, juga anak seorang pemilik manajemen kenamaan.
“Kamu pikir wajah cantikmu bisa dengan mudah menaklukan dunia, semua orang akan memaafkan perbuatanmu. Salah. Kau memuakan, kau sengaja melakukan semua ini untuk menjatuhkanku ya. Dengan pura-pura menabrakku kau berharap model utamanya diganti lalu kau yang hanya numpang lewat tanpa ada kemampuan dan bakat menggunakan kesempatan ini untuk menggantikanku.”
Ya tuhan Raisa tidak tahan lagi gadis ini entah mengapa mereka selalu terlibat masalah, Raisa selama ini berdiam diri dan menahan amarah didadanya. Tangannya terkepal, gerahamnya mengatup menahan emosi.
“Kau, apa harus mengeluarkan amarahmu seperti ini. Kau bilang dirimu model utamanya, harusnya kau bisa menjaga sikap dan percaya diri, bukannya malah mencecarku.” Raisa memberanikan diri membuka mulutnya perlahan.
“Apa, kau bilang aku tidak percaya diri, beraninya kau.” Ia hendak mengayunkan tangannya menampar Raisa. Seorang pria datang dengan setelan rapi menahan tangannya.
“Honey, sudahlah untuk apa mencari ribut disini, dilihat orang.” Pria itu berusaha menenangkan wanita yang ia panggil Honey. “Lihatlah riasanmu akan rusak jika kau marah, apa kau ingin berita yang keluar dikoran memajang fotomu yang marah-marah.”
Wanita yang Raisa kenal dengan nama Marsya itu masih menatapnya tajam, seperti sinar laser yang siap membelah seluruh inchi badan Raisa.
Ia mengalihkan pandangannya dari Raisa ke pria tadi.
“Kau, lagi-lagi membelanya, apa yang telah ia lakukan padamu hingga kau melindunginya seperti ini. Dan kau, apa kau merayu tunanganku, apa kau tidur dengannya hingga namamu masuk di daftar model hari ini. Menjijikan, kau segitu inginnya mendapatkan uang ya, dasar kampungan.” Marsya menyiram sisa air mineral digelasnya ke wajah Raisa.
Raisa merasa seluruh sel-selnya sebentar lagi akan meledak, ia menyeringai menatap Marsya.
“dari mana kau punya pemikiran seperti itu? Apa kau tidak mempercayai tunanganmu? Cih, kalau kau benar-benar berpikir dia tidur denganku seharusnya kau jijik padanya karena aku telah menyentuh semua yang seharusnya hanya menjadi dan boleh disentuh dengan tanganmu.”
Raisa sudah tidak peduli, ia bahkan menganggap dirinya gila.
“Kau, berani-beraninya ya berkata begitu dihadapanku, kalau pun itu terjadi semua karena kau penyihir, kau menggodanya.”
Marsya mengamuk menjangkau Raisa, ingin mencabik-cabik gadis itu tak bersisa.
Suasana yang tadinya sudah tegang kini semakin heboh, beberapa orang menenangkan Marsya bahkan tunanagannya tampak kesakitan menghadang semua pukulan dan tendangannya.
“Apapun caranya jika semua itu kau yakin benar tidakkah kau berpikir ia lelaki yang mudah, seharusnya kalau ia benar-benar mencintaimu entah itu bidadari atau penyihir baginya tidak akan tergoda.” Kata demi kata melompat tidak terkendali, Raisa tahu setelah ini kemungkinan ia akan tenggelam, serangan bertubi-tubi membuatnya gila, tapi ia sangat sakit apa hidupnya sebegitu tidak beruntung hanya karena wajah cantiknya. Ia menjadi benci pada wajah itu, wajah yang membuatnya harus selalu berhadapan dengan petaka dan iri.
“Gadis itu benar-benar gila, apa ia mengakui kalau ia melakukan hal buruk demi ikut pemotretan ini.”
“Ckckck tidak bisa kubayangkan wajah cantik sifat buruk.”
“Apa ia sudah gila, merayu putri manajemen D’amour, karirnya akan segera lenyap.”
Raisa bisa mendengar celetukan hinaan dari sekitarnya. Ia sudah tidak punya tenaga untuk berkata-kata,energinya seperti terhisap jauh ke dasar bumi, seolah gaya gravitasi yang mengalir hilang ia berada di ruang hampa.
Disisi lain Marsya masih mengamuk seperti setan buas.
“Kau sebegitu inginnya memiliki uang, dasar wanita murahan, kau menjual tubuhmu dengan mudahnya ya ke semua orang yang bisa kau jadikan perisai, koneksi.”
Raisa sudah tidak mempedulikannya lagi, ia bagai dilempar telur busuk, nasi basi, sayur basi ke wajahnya.
“Benar, tujuan ku hanya uang uang uang dan uang, memangnya kenapa, tidak hanya orang miskin yang perlu uang, kalian yang kaya pun mati-matian bekerja setiap hari menimbun uang. Sama saja khan.” Raisa mengeluarkan kata-kata dengan pedih, ia tahu bukan saatnya menangis, ia harus kuat bodoh jika ia menangisi segala hinaan ini. Memang mereka tahu apa, semua itu urusannya jual diri atau apapun toch yang bertanggung jawab bukan orang lain tapi dia sendiri.
“Dia sudah gila ya.”
“Wanita ini benar-benar tidak bisa berpikir.”
Hari itu Raisa merasa akhir hidupnya sudah dekat, ia hanya berdiri di tengah set pemotretan dengan wajah bengis dan tidak peduli.
Di kejauhan seorang pria menatap kejadian itu, tadinya ia tidak peduli tapi sesuatu menarik perhatiannya.
“Excuse me, what’s going on here?” Ia bertanya kepada pria yang berdiri tidak jauh darinya.
Pria disampingnya berjingkat mendekat ke arahnya, menjelaskan panjang lebar informasi yang bisa ia berikan.
“Oh begitu.” Pria itu tidak mengerti bahasa Indonesia jadi makian dan jeritan yang tadi ia dengar ia tanyakan satu persatu, walaupun tidak detail dan tidak tahu duduk permasalahannya ia bisa menangkap sesuatu serta menyimpulkan sedikit benang merah yang tampak.
Ia menatap Raisa yang seperti mematung di tengah kerumunan, otaknya mendapat ide brilian sesuatu yang ia rasa akan menjadi solusi dari permasalahan yang dihadapinya.
“Mr. Joko bisakah anda mencari info profil tentang gadis itu.”
Pak Joko yang sejak tadi disampingnya kaget. Tapi ia tidak menolak, hanya mengangguk pelan.




Jika sudah ada takdir yang tertulis, benang merah yang tersambung sejak semula, ke ujung dunia pun kau pergi takdir akan mengikutimu sesuai jalurnya, bahkan akan menyeret ku hingga terombang-ambing sampai kau menyadarinya.

Telpon itu berdering sejam yang lalu, Raisa pun sudah mengangkatnya dan berkomunikasi dengan pemilik suara diseberang. Ia masih tidak bisa mencerna apa yang barusan ia dengar, setelah kejadian tempo hari ia mengurung diri di kontrakan kecil berselimut tebal dan hanya berbaring menatap langit-langit rumah. Makan pun ia tidak selera, entah matahari sudah muncul dan tenggelam ia tidak peduli, hatinya sangat sedih tapi ia tidak bisa menangis, tidak ia berjanji untuk kuat menghadapi semuanya.
Pria di telpon tadi mengatakan ada seseorang yang ingin menemuinya, berbicara padanya di sebuah hotel. Apa orang itu sudah gila, dari mana mereka tahu nomor hp nya.
Ia memandang hp yang sudah ketinggalan zaman, hp pertama yang ia beli sejak memutuskan memasuki dunia modeling, ia kira gampang namun wajah cantik bukan modal utama. Beberapa waktu lalu seorang pengusaha mengajaknya untuk tidur dan berjanji akan menaikan popularitasnya, hanya semalam Raisa diminta melayani, itu membuat Raisa ingin muntah dan membunuh pria dihadapannya. Sekarang ini disaat keadaannya terpuruk, ia sudah dikeluarkan dari manajemen karena dianggap menjatuhkan citra sebagai seorang model dan juga ia sangat memerlukan uang, astaga kepalanya mau pecah. Andai hidup bisa di pause, skip, next maka ia memutuskan untuk pause sebentar memulihkan energinya yang hilang. Tapi apa daya hidup bukan televisi atau barang elektronik yang bisa dikendalikan sesuka hati.
Dengan perasaan malas ia menatap hp nya lagi sekarang apa yang harus ia lakukan, apa ia akan menemui penelpon itu. Ia sadar rumor tentang dirinya sudah berhembus tidak terkendali, mungkin saja sudah ada berita di koran ‘Model Y merayu tunangan Putri Manajemen ABC demi meningkatkan popularitasnya’ hati Raisa sedih, tidak ia tidak boleh menyerah harus ada yang ia lakukan, pertama ia harus menemui penelpon itu meluruskan sesuatu dan menanyakan apa maunya.



Hotel Sheraton menjulang dengan angkuh, Raisa membetulkan topinya lalu melangkah memasuki lobi, penelpon itu memberi tahunya untuk menuju lantai 12 nomor 205. Raisa berjalan ke arah lift, pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang motif penelpon, dari suaranya pria setengah baya, apakah orang itu om-om atau pengusaha iseng seperti waktu itu. Ia teringat adegan film Indonesia dimana seorang remaja yang akan menjual keperawanannya kepada seorang om-om yang tidak ia ketahui, Raisa merasa sekarang adegan itu mirip dirinya. Ah gila kenapa ia tidak berhati-hati dulu sebelum memutuskan memnuhi keinginan penelpon yang ia tidak ketahui siapa.
Angka 205 terpampang dihadapannya, Raisa berdiri disitu sejak 10 menit yang lalu, setelah mengumpulkan keberanian ia menekan tombol dan menunggu dengan perasaan takut. Saat pintu dibuka Raisa menutup matanya, ia takut akan pikiran-pikiran buruk yang tadi berkelebat.
“Come in.” Suara lembut, dingin dan tegas seperti perintah yang tidak bisa ditolak.
Raisa merasa suara itu berbeda dengan penelpon kemarin, apa ini apa ia salah orang. Raisa mulai panik, ia mematung mencari pemilik suara yang menghilang ke dalam.
“Hey, come in, nanti orang pikir kau menguntit ku jika berdiri disitu terus.”
Kalimat dengan english fasih, Raisa bisa mencernanya dengan mudah, ia menyeret kakinya memasuki kamar hotel, desain mewah menyambutnya ia bisa menilai dengan cepat dan akurat kalau pria satu ini bukan pria sembarangan.
“Don’t forget close the door.”
What, perintah lagi dia pikir dirinya siapa, Raisa hampir saja protes tapi ia mengurungkan niatnya dan berbalik ke arah pintu.
“Welcome.”
Pria itu bukan sosok om om yang dia bayangkan, jauh lebih muda, tampan, keren, bersahaja, berkharisma, seperti ada aura menawan disekelillingnya. Kemeja putih dengan tangan digulung, celana bahan yang terlihat sangat mahal membungkus badannya dengan sempurna. Raisa memberinya angka 9, harusnya ia bisa mendapat angka 10 jika saja tadi ia tidak asal perintah.
Hey barusan apa yang terlintas dibenaknya, Raisa menepuk dahinya sesaat, ia bahkan lupa apa yang menjadi tujuan utamanya kesini.
“Take a seat, please.”
Perintahnya santai, wow posisinya duduk pun tampak indah pria ini manusia bukan sich kenapa visualisasinya bisa nyaris sempurna begini.
“Aku tahu, kau pasti bingung kenapa aku meminta mu bertemu secara privat. Aku Inha, Inha  Kazehaya, aku sudah membaca profil mu.” Ia menukas seenaknya, mengagetkan saja bagaimana ia bisa mendapatkan profil Raisa.
“Kau pasti bingung kenapa aku bisa mendapatkan profilmu, kebetulan brand pakaian kami salah satu modelnya adalah kau. Maaf jika terkesan tidak sopan.”
Wah selain tampan ia juga cenayang, hebat bisa menebak pikiran, apa itu barusan ia minta maaf karena lancang, tapi sepertinya bukan minta maaf dengan penuh perasaan hanya kata-kata formal seperti biasa mengucapkan hallo, selamat pagi, selamat siang.
“Apa kau memang seperti ini, suka berdiam diri, padahal di set pemotretan itu kau berbeda.” Pria itu menelitinya dengan tajam.
Ya’ampun dia ada disana, dan melihat semuanya. Raisa tahu ini bukan hal yang bisa ia hindari dan barusan pria ini juga apa yang ia pikirkan. Melihat matanya menilai Raisa dari atas ke bawah seolah matanya terbuat dari lensa tembus pandang.
“What do you mean?” ia balas memandang pria itu.
“ah kau bisa bicara juga, begini aku ingin mengajukan sebuah pekerjaan padamu, aku berjanji jika kau menyanggupinya tidak hanya uang tapi karirmu akan syuuuut...” ia mengarahkan jarinya naik ke atas. “Melambung.”
Raisa menatapnya, pekerjaan apa itu, mana ada keberuntungan yang datang Cuma-Cuma memangnya pria di depannya ini Jin yang ia selamatkan.
“Jangan menatapku seperti itu, ah aku tahu kau pasti bingung, kau bisa akting khan?”
Apapula ini akting, apa dia mau mengajak bermain di film porno.
“Sir, akting, apa anda maksud berakting di film porno.” Tanya Raisa polos.
Inha menautkan keningnya menatap balik, sesaat kemudian meledak lah tawanya.
“Muahahaha, kau tahu betapa polosnya dirimu, apa aku terlihat seperti produser film porno, ah padahal wajah ku tampan begini mengapa kau bisa berpikir begitu.” Ia masih tidak berhenti tertawa wajahnya memerah seketika.
“Cih, apanya yang lucu ia membodohiku ya.” Gerutu
 Raisa kesal pria ini kenapa sich seperti anak kecil yang menang bertarung dan mendapatkan hadiahnya.
“Apa sudah selesai tertawanya, aku bukan badut dan lagi jika anda ingin membual bukan dengan saya.” Raisa berdiri berniat meninggalkan kamar hotel itu secepatnya.
“Nona Raisa, apa benar anda wanita yang mudah tertarik dengan uang.”
Ctaaass, Raisa merasa tali temali kesabarannya terputus pria ini ternyata brengsek.
“Benar, siapapun perlu uang khan kenapa harus menutupi hal itu, ada yang salah?” Tantang Raisa menatap Inha dengan tatapan mata yang berkilat.
Wow, wanita ini seperti kucing liar, batin Inha sesaat. Apa ia tidak mudah ditaklukan.
“Tapi apa anda sebegitu  terobsesinya dengan uang, apa benar begitu?”
Astaga kenapa sich pria ini, otaknya rusak kenapa ia cerewet seperti ibu-ibu.
“Apa masalahnya jika aku bekerja keras dan mendapatkan uang?”
Inha menimbang sesaat, ia tahu tanggung jawab dan beban apa yang akan ia emban segera setelah ini, sejak awal ia ingin melakukannya, tekadnya sudah bulat, wanita di depannya ini adalah pilihan tepat.
“Aku akan memberi honor yang besar dan kau harus bisa bekerjasama.’
Raisa berpikir, saat ini mendesak ia sangat perlu uang keadaannya sedang genting. Setelah menghembuskan nafas ia pun kembali duduk, menatap Inha dengan pandangan sedikit melunak.
“Baiklah aku akan mendengarkan, tapi apa bisa honornya dibayar dimuka.”
Inha bisa menebak menundukan kucing liar bukan masalah mudah harus ada pengorbanan, permainan trik untuk memancing reaksinya.
“Okey. Listen to me.”




See You at Chapter 2 ^^, mohon komentar nya ya bagi yang baca sejelek2 nya author terima. Makasih.. ^___^