BLUE
SKY
# PROLOG
Hal
apa yang membuat seseorang bias berpikir bahwa ia melakukan suatu kebodohan,
sesuatu yang sebenarnya ia sadari tidak mungkin tapi tetap saja ia
mempercayainya.
Udara
dingin dan lembab, tanah dan rumput yang masih basah meninggalkan jejak hujan.
Namun hatinya lebih dingin dan hampa, terbaring dengan perasaan tidak berdaya
dan menertawakan kebodohannya. Audrey merasakan sakit, perih dan kosong menjadi
satu. Dadanya bergerak naik turun tidak teratur, terguncang antara bernafas dan
senyum samar penuh kegetiran dibibirnya. Ia merasa yang terjadi beberapa saat
lalu seperti scene di film lama yang adegan nya berjalan sangat lambat dan
samar, seperti film klasik tanpa warna namunmeninggalkan makna mendalam.
Ia
merasa kedinginan dan menggigil, entah karena udara malam atau karena rentetan
kejadian barusan, penyebab utamanya tampak samar. Sesamar perasaannya saat ini.
Pistol
dengan peredam suara yang bisa membidik lawan dari jarak jauh sekalipun
digenggam erat ditangannya, meski sekarang ia sudah berlari jauh dari lokasi
kejadian ia masih belum yakin akan keselamatannya, pistol itu akan siap siaga
mengarah kepada siapapun yang mengancam keselamatan jiwanya. Seperti selama ini
ia tidur, benda itu akan setia menemaninya.
Audrey
membuka matanya perlahan menatap langit yang hitam pekat, jauh pandangannya
menerawang menembus tetesan air dari pepohonan yang masih tersisa. Ia tidak tahu
ini dimana, kakinya hanya berlari sejauh yang ia bisa. Bahu kanannya berdenyut
nyeri, beberapa saat lalu ia tidak merasakan nyeri bahkan ketika berlari tadi
tidak terlintas sedikitpun sakit dan nyeri pada badannya, hanya keinginan untuk
selamat dan bertahan hiduplah yang ia pikirkan.
Audrey
tertawa kecut memikirkan betapa inginnya ia hidup, sehebat itukah kemampuan
seorang manusia yang ia sendiri tidak tahu. Terasa nyeri di bahu kanannya
semakin parah ketika ia bergerak, darah menetes dari sana, peluru dari
seseorang mendarat disana ketika insiden di acara pertunangan tadi. Mengingat
pertunangan itu, Audrey merasa ada yang lebih nyeri dari lukanya, sangat nyeri,
luka lama yang kemudian berdarah lagi karena terkkoyak dan tercabik setiap
waktu tanpa henti, luka yang ia abaikan, yang ia piker akan berhenti dengan
sendirinya, namun ia sendiri salah, luka itu akan selalu ada disana yang tanpa
ia sadari bahwa dia sendirilah yang memelihara luka itu seiring berjalannya
waktu.
Apa aku akan mati
disini, kematian karena luka yang membusuk, apakah akan terlihat keren jika
memilih luka karena hati terkoyak. Kebodohan yang mengiringi langkah seseorang
yang kemudian membawa kematiannya.
Audrey
bergumam sendiri, ia memejamkan matanya membiarkan rasa pedih dan nyeri
berkecamuk menjadi satu, ia tidak berniat membalut lukanya. Seolah ia sengaja
menjadikan luka itu sebagai pelarian atas semua sedih dan pedih. Ada sesuatu
yang hangat mengalir di pipinya, air
matakah ini, ah aku lupa kapan terakhir mata ini berduka bahkan aku piker mata
ini sudah kering seperti padanga tandus.
Audrey
tidak tahu berapa lama ia berbaring disana, hingga ia mendengarkan langkah kaki
mendekat, dengan kecepatan kilat ia mengokang senjata digenggamannya
mengarahkan ke sumber suara. Namun sehebat apa otaknya memerintahkan untuk
bergerak, tenaga dan energinya sangat lemah serta luka dibahu menghambat
gerakannya, hingga untuk bangkit pun ia kepayahan.
Kemana kemampuan ku
tadi, keinginan untuk bertahan hidup, ayolah aku belum ingin mati, sebelum
semua yang membuat ku begini juga masih menghirup udara dengan bebasnya. Tidak
, aku harus bisa bangkit.
Dengan
sisa tenaga yang ada, Audrey berusaha bangkit, namun baru saja ia berusaha
menegakkan posisinya ia kembali terjatuh, tepat saat itu ia mendengar seseorang
memanggil namanya dan mendekat.
“Audrey.”
Suara
itu penuh penekanan kekhawatiran yang mendalam, Audrey mengenalnya, sangat
mengenal baik pemilik suara itu. Dengan senjata yang mengarah ke sumber suara
serta penglihatan yang mulai samar, sebelum akhirnya ia kehilangan kesadaran,
Audrey mengenalinya. Pria itu datang sendirian ke hutan selatan dengan setelan
tertampan yang pernah Audrey tahu, Pria
ini, apapun yang dikenakannya membuat ia tampak selalu tampan. Bahkan disaat
ini aku masih berpikir ia begitu rupawan untuk ku. Kunang-kunang api, apakah
dikegelapan malam ini ketika bintang pun tidak menampakan diri, yang turun
menunjukan jalan pulang untukku adalah kunang-kunang yang dulu pernah hilang
dari bumi.
“Audrey,
look at me, are you okay.”
Itu
kata terakhir yang bisa Audrey dengar, bahkan dengan senjata terarah padanya
sekalipun pria itu tanpa ragu merengkuh Audrey dan memeluknya.
Jika ini adalah
cara Tuhan mengirim ku ke surga dan mengakhiri hukumanku di bumi saat ini aku
rela, menerima kehangatan yang aku rindukan. Sesuatu yang hilang akankah kembali.
#MEMORI DAN MASA KINI
Gedung
serba guna institusi London.
Musim
semi akan segera berlalu beberapa saat lagi, hawa angin musim panas yang kering
mulai terasa. Audrey melangkahkan kakinya dengan capat menaiki tangga menuju
hall yang biasa digunakan untuk acara-acara personal maupun company. Hari ini
ada klien yang ingin melihat hall tersebut, dan Audrey sedikit terlambat karena
ia baru selesai mengajar dikelas judo disebuah akademi.
Audrey
membuka pintu hall perlahan, Ken sang desain interior yang pertama menyadari
keberadaannya dan menatap Audrey dengan tajam. Audrey berhenti sejenak balas
menatap Ken dengan mata penuh sesal, mulutnya bergerak tanpa suara
mengisyaratkan I’m sorry, I have class,
pliss. Aku akan mentraktirmu di bar malam ini.
Ken
menghela nafas dan balas menatap Audrey mengisyaratkan Awas kau ya, aku akan membalasnya.
Audrey
langsung menegakkan bahunya, merapikan penampilan dan tersenyum simpul,
melangkah dengan penuh percaya diri seperti biasa.
“Kenalkan,
ini adalah.” Ken berbicara kepada seorang wanita yang sedari tadi tampak sibuk dengan
gadget ditangannya.
“Audrey.”
Tepat saat wanita itu membalikan badan, Audrey mengulurkan tangannya. “Saya
humas institus ini.”
Wanita
itu sangat classy dan tatapannya sangat tajam.
“Sonya.”
Suaranya pun merdu, sekali liat Audrey mengenali wanita yang didepannya ini
punya fisik mendekati 100%, semampai dengan payudara yang penuh, pinggang
ramping dan bibir seksi. Bisa membuat pria manapun tidak mengalihkan
pandangannya.
Keduanya
berjabat tangan dan saling menyunggingkan senyum formal.
“Saya
sudah melihat tempat ini, dan juga sudah mengatakan kepada Tn. Ken konsep amal
yang akan diselenggarakan nanti.” Suara wanita itu terdengar penuh tendensi,
Audrey bisa merasakan tipikal wanita yang terlahir dengan semua kendali ada
ditangannya sedari kecil, sebagai wanita dari kalangan jetset pastinya ia ingin
semua keinginannya bisa terpenuhi, dan disinilah Audrey melayani orang orang
jenis ini.
“Begitu
rupanya, maaf atas keterlambatan saya.” Audrey berusaha sopan sekaligus tetap
formal, karena seharusnya yang pertama kali wanita ini temui adalah dia, bukan
Ken.
“Tidak
masalah, saya sudah mendengar beberapa kolega yang menggunakan jasa tempat ini,
saya pikir bukan masalah besar jika saya langsung mengambil tempat ini.”
Percaya diri sekali
wanita ini, baiklah jadi aku tidak perlu menggunakan senyum rubah untuk
membujuknya memaafkan kesalahanku.
“Terima
kasih, saya merasa terselamatkan mendengar perkataan anda.”
Audrey
bisa melihat Ken yang menatapnya tajam. Seolah berkata. Kau hamper saja membuat kesempatan besar berlalu begitu saja.
“semua
detail sudah saya bicarakan bersama Tn. Ken, kebetulan nanti calon tunangan
saya akan hadir juga, saya sangat berharap pilihan saya di tempat ini tidak
menjatuhkan imej saya dimatanya.”
Wow, apakah wanita
ini Hyena,sepertinya ia berharap semua mahluk hidup akan tunduk disepatu
stiletto ungu runcing berhias mutiara yang dikenakannya.
Audrey
menyunggingkan senyum wajar yang menjadi keahliannya.
“Tentu
nona, kami akan melakukan semaksimal mungkin.”
Keduanya
berjabat tangan lagi dan saling bertukar senyum.
Ken
hanya menatap keduanya dengan tatapan yang menurut Audrey tidak bisa
diterjemahkan.
Ketika
Audrey mengantar Sonya ke pintu, ia menatap Ken dan menggidikan bahunya seolah
berkata Yang penting ia menggunakan jasa
kita kan.
Bar
Monte
Ken
menelengkan gelas yang berisi separuh, sudah sepuluh gelas yang berpindah dari
botol ke gelas lalu menghilang ke saluran pencernaan Ken.
Audrey
memesan cocktail sembari menghembuskan asap dari rokok yang sesekali mengepul
indah dari bibirnya.
“Jadi
wanita klien kita itu puteri seorang mafia.”
Audrey
membuang potongan punting rokok ke asbak lalu menatap Ken.
“Hmmm.”
Ken menjawab sekenanya. Dengan mata yang menatap liar pada gadis-gadis yang
berlalu lalang di bar. Audrey yang sedari tadi menjadi gusar akan tingkah Ken
seolah tidak menghiraukannya.
“Ayolah,
kau tahu kan aku tidak sengaja membiarkan kamu menangani semuanya sendirian.
You know how I’m sorry for today, sungguh.”
Ken
masih tidak bergeming, ia malah asik saling lirik dengan seorang wanita mengenakan
gaun one piece yang memamerkan separuh payudaranya dan paha. Menurut Audrey dia
akan mati kedinginan menggunakan gaun semacam itu.
“Kau
tidak sadar ya, air liur mu hamper menetes seperti balita yang lama tidak
menyedot dua benda itu, kalau kau begini aku pulang saja dan carilah kamar.”
Audrey
sedikit kesal, ia tahu kalau tadi siang semua kesalahannya tapi bukan berarti
ia harus diacuhkan berjam-jam sejak siang tadi.
“Baiklah,
aku akan pulang.”
Audrey
baru saja akan beranjak dan menggamit tas kerjanya. Ketika Ken menahan
kepergiannya dan membuat Audrey duduk begitu dekat dengannya dengan jarak hanya
beberapa senti.
Dengan
jarak sedekat ini, Audrey bisa melihat guratan menawan yang membuat struktur
indah dan rapi sekaligus membentuk karya rupawan pada wajah Ken. Aroma
maskulinnya juga menguar memenuhi indera penciuman Audrey. Bukannya Audrey
tidak menyadari pesona itu sejak mereka pertama kali bertemu beberapa tahun
lalu, hanya saja Audrey tidak ingin ambil pusing untuk tertarik dan menggoda
Ken.
“Kau
mau kemana, selain mentraktir ku kau juga harus bertanggung jawab mengantarkan
ku pulang karena aku ingin mabuk mala mini.” Tatapan matanya begitu menghujam
dan memohon, Audrey benci hal itu karena Ken selalu menggunakan kelemahannya
ini kepada Audrey.
“Kau
gila, kau sendiri tau kemampuanmu menegak minuman ini, butuh bergalon-galon bir
untuk membuatmu mabuk.”
Audrey
beringsut menjauh sedikit, melebarkan jarak yang ada, Ken seperti akan
melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti.
“Aku
tidak peduli, yang aku tau kau harus bertanggung jawab karena aku harus
menangani semua kekacauan tadi pagi.”
Pria ini kenapa
sich seolah apa yang terjadi tadi pagi membuat langit runtuh dan ia terkubur
disana tidak bisa bangkit sampai aku datang dan mengulurkan tanganku, Audrey mendengus, satu hal yang
ia tidak suka dari Ken, pria ini sangat drama bahkan penuh drama.
“Hey
nona, kau tau begitu menggemaskannya dirimu disaat kau kesal.”
Ken
berujar sembari tertawa kecil, dan menggeser duduknya lebih dekat ke Audrey.
Lihat, pria ini
seperti melemparkan pancingan dengan akurat, apa yang dipikirkannya sich.. Audrey mendelik tajam dan
membiarkan lengan Ken singgah dibahunya.
“Honey,
kamu tidak menyadarinya ya betapa kau memiliki aura yang bisa membuat orang
berlutut dihadapanmu tanpa kau harus menggunakan dress one piece seperti yang
dikenakan wanita itu.”
Ken
berbisik dengan lirih ditelinga Audrey, hembusan nafas hangat menggelitik geli.
Baiklah tuan don
juan kita lihat kau akan bertingkah apalagi.
Wanita
dengan dress one piece yang tadinya berpikir Ken seperti akan mengajaknya
berlayar ke samudera ke nikmatan disalah satu kamar di hotel nan mewah
memutuskan menjauh ketika melihat Ken begitu mesra disamping Audrey.
“Aku
pikir kau akan memancing kali ini, lihat ikan yang telah mematuk umpanmu dengan
sukarela pergi begitu saja karena kail yang digunakan hanya kiasan.”
Audrey
mengeluarkan rokok dari kantongnya dan menyulut satu dibibirnya.
“Kau
tahu, aku selalu penasaran dengan bibir yang selalu mengepulkan asap rokok ini,
bagaimana bibir ini bekerja, apakah sangat lihai kepada benda-benda lain selain
rokok.”
Audrey
tersenyum dan menghembuskan asap rokoknya ke wajah Ken, membuat Ken terbatuk
batuk mengayunkan tangannya menghalau kepulan asap kecil.
Pria
yang aneh, ia sangat menikmati minuman keras tapi membenci rokok, dengan dalih
tidak suka rokok karena mencemari lingkungan dan berkesan membakar uang. Hal
yang aneh karena betapa kecintaannya kepada berbagai jenis minuman.
“Bibir
ku bisa melakukan banyak pekerjaan dengan baik, seperti meyakinkan calon klien,
dank au sangat tau itu.” Audrey tersenyum licik, rambutnya yang berwarna maroon
membuat senyum itu seperti rubah muda yang sedang menggoyangkan ekornya ke arah
tuan serigala.
“Itu
sangat menggoda.” Tepat setelah mengucapkan itu Ken meleng ke kanan dan
terjatuh di pangkuan Audrey.
“Hey,
kau kenapa? Ken, are you okay? Ayolah bukan saatnya drama, ini tidak seperti
dirimu.” Audrey menggoyangkan badan Ken, tapi pria itu tampak tidak bergeming.
Sesaat
Audrey mendiamkan Ken, menunggu pria itu menghentikan aksinya. Tapi hingga
mendekati 30 menit berlalu Ken tetap diposisinya tidak bergerak.
“Ya
ampun, kau serius ya.”
Dengan
berdecak Audrey memanggil keamanan dan meminta bantuan mereka memapah Ken
menuju mobilnya.
“Thank
You.”
Setelah
memberikan tips Audrey menyetir mobil sport Ken menuju apartemen Ken di wilayah
Utara. Sudah menjadi kebiasaan Audrey, ini bukan kali pertama ia mengantarkan
Ken pulang.
Aku kan rekan kerja
kenapa merangkap pengasuh begini,.
Apartemen
Ken terletak dikawasan elit, hamper semua orang yang tinggal disitu kalangan
jet set, Ken juga tentunya. Walaupun Audrey tidak mencari tahu latar belakang
keluarga Ken, ia bisa tahu kalau keluarga Ken bukan keluarga biasa.
Tepat
ketika memarkirkan mobil di depan pintu masuk Audrey menangkap sosok yang
sangat ia kenal. Di seberang sana seorang pria dengan setelan jas krim memasuki
mobilnya dan berlalu pergi memutar melalui mobil Ken dengan Audrey di depannya.
Kejadian
itu hanya berlangsung sekian menit tapi cukup membuat Audrey menahan nafas,
kepalanya mengirimkan jutaan informasi yang sukar dicerna, seperti ia merasa
lapar namun apapun yang melalui tenggorokannya hanya kapas tanpa rasa.
“Miss.”
Teguran
seorang keamanan apartemen mengejutkan Audrey, membuatnya kelimpungan dan aneh,
sempat melupakan Ken yang terkulai lemah disampingnya.
“Oh
yes, can you help me? I think Ken got drunk.” Audrey membuka kaca mobilnya dan
tersenyum.
‘Ok
miss, I’ll help you,”
lalu pria itu memanggil seorang temannya lagi.
Audrey
menyerahkan kunci mobil Ken kepada pria yang datang belakangan, kemudian
bersama pria yang pertama ia menuju apartemen Ken.
Apartemen
Ken termasuk kategori rapi dan terawatt, tidak banyak barang maupun ornamen
yang diapajang. Diruang tamu pada dinding terdapat sketsa foto Ken dengan
ukuran besar, Audrey tahu sketsa itu diambil ketika Ken masih menjadi model di
Milan. Sketsa dengan separuh badan tanpa busana memamerkan otot sixpack.
Apartemen
minimalis dengan dua kamar, didominasi warna silver dan merah menyala. Hal yang
selalu menjadi pertanyaan Audrey tentang apartemen Ken.
Sebuah
lampion berukuran sedang memberikan pencahayaan minimal di kamar Ken, bahkan
kamarnya begitu rapid an membuat nyaman.
Setelah
mengucapkan terima kasih kepada penjaga apartemen dan mengantarnya ke pintu,
Audrey kembali ke kamar Ken dan membantu pria itu melepaskan setelan kerjanya.
Bau asam tercium karena tadi ken sempat muntah di mobil.
Dengan
gerakan perlahan serta lembut Audrey melucuti pakaian Ken satu persatu,
menyisakan boxer sepaha yang sangat ketat.
Audrey
akan bangkit dan berniat memasukan pakaian itu ke mesin cuci namun tertahan
saat Ken melenguh lalu salah satu tangannya terulur menyentak Audrey hingga
gadis itu jatuh dan menimpa tubuh Ken.
Sejujurnya
Audrey masih belum bisa mencerna situasi karena kejadian di depan apartemen
tadi. Semacam apa yang ia lakukan di kamar Ken sekarang seperti angin.
Hebat,
apakah pria itu seperti sosok hantu hingga membuatnya tidak berdaya seperti
sekarang ini, bahkan ketika Ken memutar balik keadaan dan sekarang posisi
Audrey berada dibawah.
Deru
nafas Ken berhembus keras, Audrey tahu ia sepenuhnya masih tidak sadar namun ia
juga tidak menolak dan melakukan perlawanan ketika Ken entah dengan kekuatan
apa seperti menawannya. Badan Ken yang dikategorikan tinggi ramping namun
berotot dapat dengan mudah membuat Audrey tidak berdaya berdaya. Walau
sejujurnya Audrey merasa kesadarannya sudah menurun sejak matanya menangkap
sosok pria di depan apartemen tadi.
Tangan
Ken membelai lembut wajah Audrey, sangat lembut bahkan untuk ukuran orang yang
hilang kesadaran. Bibir nya dengan sigap mendarat di bibir Audrey, awalnya
kecupan lembut seperti kapas lalu menjadi liar dan panas.
Diperlakukan
seperti itu Audrey hanya diam, ia seperti dihipnotis atau apapun itu yang
membuat kesadarannya berada dimana. Bibirnya merespon bibir Ken dengan baik,
saling mengecup, menyerang, membelitkan lidah. Ada perasaan hangat dan membara,
sesuatu yang ia rindukan. Tangan Ken kini tidak hanya membelai rambutnya, namun
semakin menjelajah ke leher, lalu turun ke payudaranya. Tangan itu berhenti
disana, hanya diam sesaat, lalu bergerak lembut mengusap payudara kanan Audrey.
Audrey merasa mendapat sengatan listrik ketika jari jemari Ken mempermaikan putting
payudaranya, meremas memilin.
Ah gila, jadi
beginikah cara sang don Juan ini melumpuhkan wanita.
Audrey
semakin pasrah dan mengikuti kemauan Ken, lumatan pada bibirnya semakin lama
semakin panas, membuat Audrey susah bernafas.
Kaos
Audrey yang sangat tipis karena blazer tadi ia lepas ketika membantu Ken
melepas baju, membuat tangan Ken dengan mudah melakukan gerakannya. tangan yang
tadinya terhalang kaos tipi situ kini dengan cepat sudah menyentuh punggung
Audrey tanpa bisa dicegah. Audrey merasa sulit bergerak karena salah satu kaki
Ken berada diselangkangannya.
“Ken,
stop.” Audrey terengah, ia tahu Ken mendengar, rasanya da yang tidak benar
disini. Ia berusaha memulihkan kesadarannya sebelum Ken semakin jauh. Ah
sungguh Audrey juga wanita normal, ia tahu bahwa akhir-akhir ini ia memikirkan
seks dan itu hanya ia lakukan ketika senggang dengan menonton beberapa film
skes komersial yang dia dapat di internet, tapi hanya sebatas itu karena ia
masih bisa mengontrol keinginannya dengan kerja dan berolahraga. Tapi yang Ken
lakukan saat ini membuatnya merasa haus yang tidak tertahankan.
“Kau
tahu, kau harus bertanggung jawab kan.”
Ken
menatapnya dengan mata penuh gelora, mata biru yang biasanya teduh kini penuh
dengan hasrat membuat Audrey ingin mereguknya sekaligus khawatir.
Permainan
itu berlanjut, Audrey hanya pasrah atau lebih tepatnya tergoda dengan kemampuan
jemari dan bibir Ken yang sudah memberikan tanda di leher, telinga dan dadanya.
Betapa
lihainya Ken hingga Audrey tidak sadar ketika kaos dan celananya dilucuti, kini
ia hanya mengenakan celana dalam sedang bra nya sudah lepas beberapa waktu
lalu.
Ken
mengulun payudaranya dengan lihai sedang salah satu tangannya bergerak membelai
celana dalam Audrey. Gadis itu semakin menggelinjang dan terbakar,tepat ketika
Ken akan melucuti celana dalamnya hp Audrey berbunyi berisik dan membuat Audrey
serta merta mengumpulkan kesadarannya, mendorong Ken yang setengah sadar hingga
ia terjatuh ke lantai.
“Maaf.”
Audrey
setengah panic melihat Ken yang menatapnya tajam, Audrey tau ada kesal dan
marah yang menyatu disana, tapi ia harus mengakhiri ini, sktifitas barusan
sangat menggoda, sungguh, apalagi dengan lawan main seterampil dan menawan Ken.
Hanya saja ia menemukan sedikit celah dari kesenangan itu, Cinta, tidak ada
Cinta disana hanya kepuasan nafsu seksual disana. Dan Audrey tidak mau itu, ia
tidak ingin menjadi kenangan tidak menyenangkan antara ia dan Ken.
“Audrey,
kau tau kan kalau aku.”
Ken
menghembuskan nafasnya kesal, ia bangkit dari posisinya, membuat Audrey
menyilangkan kaki dan dalam posisi siap kuda-kuda. Ken membuang nafas kemudian
menuju kamar mandi meninggalkan Audrey begitu saja.
Terdengar
air mengalir dengan derasnya, Audrey diam sejenak merasa bersalah kepada Ken,
namun bukan hal yang harus ia pikirkan. Tapi karena Ken lama berada di kamar
mandi membuatnya sedikit khawatir.
“Ken,
are you okay?” Audrey menuju kamar mandi dan mengintip.
“Apa
peduli mu!” bentak Ken dengan gusar.
“Hey,
aku hanya merasa tidak nyaman saja.” Audrey berdiri disamping pintu keluar.
“Bukankah
kau sangat kenyamanan dengan yang aku lakukan barusan. Tapi kau malah
merusaknya.”
“Maksud
ku bukan itu, yeah I know what happen with us at that time was awesome. Tapi,
aku rasa itu bukan dari profesionalisme yang selama ini kita jaga.” Sahut
Audrey lemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar