Cast
Kania
Raisa
Park
Inha- inha Kazehaya-
Takeshi
Hirozawa
Dalam
hidup ada banyak garis takdir yang saling bersinggungan dan bersilangan.
Seperti meniup debu dengan tangan
terbuka, berhamburan tak berjejak, seperti angin yang berdesir tidak terlihat
namun terasa. Kita yang seperti titik titik kecil saling berjauhan ternyata
merupakan sumbu ordinat yang saling terhubung bagaikan sumbu X dan Y membentuk
sudut-sudut di kertas putih. Seperti grafik yang turun naik, kadang tidak
terkendali, kadang tampak tenang. Seperti menari dengan irama riang, seperti
tarian pedang indah namun berbahaya di dekati, meskipun kita ordinat X dan Y
yang berbeda namun di ordinat yang sama kita bertemu tanpa kita tahu tanpa kita
duga. Jika takdir ini berujung menuntunku padamu maka aku harap meskipun grafik
yang timbul tidak beraturan namun dibalik itu terdapat keselarasan yang kuat
agar aku merasa pantas berada disampingmu dan menerima kehangatanmu.
Raisa
memukul-mukul lututnya pelan dengan kepalan tangan mungilnya. Sudah lebih dari
3 jam ia bergaya mengikuti arahan potografer tapi sepertinya ia tidak
mendapatkan hasil yang diinginkan. Suasana pemotretan hari itu outdoor, Raisa
hanya salah satu dari sekian model yang turut serta di even itu. Dia bukan
model utamanya, hanya model pendukung tapi sepertinya semua kesalahan
dilimpahkan kepadanya.
“Ya,
kamu yang bergaun kuning, bukankah saya sudah katakan lemaskan lututmu, angkat
sedikit dagumu, buat dirimu nyaman, bukan tegang begitu.” Bentak fotografer
dengan suara kasar.
Semua
mata memandang Raisa, ada yang sebal, ada yang iba, ada yang penasaran.
“Apa
dia bodoh, kenapa sedari tadi ia selalu melakukan kesalahan.”
“Ya’ampun
dia lagi dia lagi. Kenapa dia tidak bisa melakukan hal yang benar sich.”
“Cih,
wajahnya saja yang cantik, sepertinya dia benar-benar tidak punya bakat.”
Raisa
merasa kupingnya akan segera menjadi semerah cabe matang mendengar semua
celetukan itu, astaga kenapa sepertinya semua menganggapnya gadis bodoh, apa
yang salah pada fotografer itu sejak tadi ia sudah memberikan performa
terbaiknya, lagipula jika dia memang fotografer handal apa susahnya ia mengedit
dan memperbaiki hasil akhirnya dengan sentuhan yang indah.
“Break,
kita lanjutkan 15 menit lagi.”
Fotografer
itu meninggalkan kursinya sembari menatap Raisa tajam.
Raisa
merasa bulu kuduknya berdiri, dunia modelling benar-benar segila ini kah, ia
memang bukan model terkenal hanya model biasa yang terkadang turut serta di
even-even yang juga biasa. Kali ini ia beruntung bisa bergabung di pemotretan salah
satu brand pakaian kasual meskipun bagiannya tidak banyak. Entah kenapa ia
tidak tahu fotografer itu malah memfokuskan diri padanya sejak shoot pertama.
Raisa
berjalan gontai meninggalkan set pemotretan ia merasa akan segera meledak jika
lama-lama berada disitu, ia perlu udara segar, udara disitu tercemar dengan
mulut-mulut pedas yang sambar menyambar. Ia merasa seperti ikan kecil yang
berenang tak tentu arah karena lingkungan yang ia datangi tercemar limbah yang
menyesakan.
Semua
mata memandang Raisa dengan jijik juga merendahkan. Ia bukannya tidak tahu, ia
hanya mencoba tidak peduli. Apapun yang orang katakan tentang dirinya ia akan
menutup telinga dan terus melangkah maju, demi uang tidak ada obsesi lain dalam
hidupnya hanya uang.
Gosip-gosip
tak sedap yang beredar pun ia anggap lalat-lalat pengganggu tanpa perlu ia beri
perhatian. Hidup seperti ini memang tidak mudah rasa sepi dan sendiri juga
perasaan terkucilkan kerap ia alami, tapi ia sudah bertekad untuk menanggung
semuanya sampai akhir.
Bug!!
Raisa menabrak seseorang, ia mendengar jeritan yang bukan dari mulutnya.
Dasar
aneh Raisa yang tersungkur kenapa dia yang mengaduh seperti singa betina lapar.
Raisa
menatap pergelangan tangannya, sial ada lecet disana dan baju yang ia pakai
adalah properti perusahaan. Belum sempat ia bangkit sebuah tangan merenggutnya,
membuatnya berdiri terhuyung-huyung hilang keseimbangan.
“Bodoh,
kau tidak lihat apa yang barusan kau lakukan, baju ini akan digunakan untuk
sesi pemotretan selanjutnya, dan ini coba kau lihat kau membuat minumanku
tumpah.”
Gadis
itu semakin mengeluarkan caci maki membabi buta, membuat Raisa seperti seonggok
kotoran yang nyasar di etalase berlian mahal. Dia model utama pemotretan kali
ini, juga anak seorang pemilik manajemen kenamaan.
“Kamu
pikir wajah cantikmu bisa dengan mudah menaklukan dunia, semua orang akan
memaafkan perbuatanmu. Salah. Kau memuakan, kau sengaja melakukan semua ini
untuk menjatuhkanku ya. Dengan pura-pura menabrakku kau berharap model utamanya
diganti lalu kau yang hanya numpang lewat tanpa ada kemampuan dan bakat
menggunakan kesempatan ini untuk menggantikanku.”
Ya
tuhan Raisa tidak tahan lagi gadis ini entah mengapa mereka selalu terlibat
masalah, Raisa selama ini berdiam diri dan menahan amarah didadanya. Tangannya
terkepal, gerahamnya mengatup menahan emosi.
“Kau,
apa harus mengeluarkan amarahmu seperti ini. Kau bilang dirimu model utamanya,
harusnya kau bisa menjaga sikap dan percaya diri, bukannya malah mencecarku.”
Raisa memberanikan diri membuka mulutnya perlahan.
“Apa,
kau bilang aku tidak percaya diri, beraninya kau.” Ia hendak mengayunkan
tangannya menampar Raisa. Seorang pria datang dengan setelan rapi menahan
tangannya.
“Honey,
sudahlah untuk apa mencari ribut disini, dilihat orang.” Pria itu berusaha
menenangkan wanita yang ia panggil Honey. “Lihatlah riasanmu akan rusak jika
kau marah, apa kau ingin berita yang keluar dikoran memajang fotomu yang
marah-marah.”
Wanita
yang Raisa kenal dengan nama Marsya itu masih menatapnya tajam, seperti sinar
laser yang siap membelah seluruh inchi badan Raisa.
Ia
mengalihkan pandangannya dari Raisa ke pria tadi.
“Kau,
lagi-lagi membelanya, apa yang telah ia lakukan padamu hingga kau melindunginya
seperti ini. Dan kau, apa kau merayu tunanganku, apa kau tidur dengannya hingga
namamu masuk di daftar model hari ini. Menjijikan, kau segitu inginnya
mendapatkan uang ya, dasar kampungan.” Marsya menyiram sisa air mineral
digelasnya ke wajah Raisa.
Raisa
merasa seluruh sel-selnya sebentar lagi akan meledak, ia menyeringai menatap Marsya.
“dari
mana kau punya pemikiran seperti itu? Apa kau tidak mempercayai tunanganmu?
Cih, kalau kau benar-benar berpikir dia tidur denganku seharusnya kau jijik
padanya karena aku telah menyentuh semua yang seharusnya hanya menjadi dan
boleh disentuh dengan tanganmu.”
Raisa
sudah tidak peduli, ia bahkan menganggap dirinya gila.
“Kau,
berani-beraninya ya berkata begitu dihadapanku, kalau pun itu terjadi semua
karena kau penyihir, kau menggodanya.”
Marsya
mengamuk menjangkau Raisa, ingin mencabik-cabik gadis itu tak bersisa.
Suasana
yang tadinya sudah tegang kini semakin heboh, beberapa orang menenangkan Marsya
bahkan tunanagannya tampak kesakitan menghadang semua pukulan dan tendangannya.
“Apapun
caranya jika semua itu kau yakin benar tidakkah kau berpikir ia lelaki yang
mudah, seharusnya kalau ia benar-benar mencintaimu entah itu bidadari atau
penyihir baginya tidak akan tergoda.” Kata demi kata melompat tidak terkendali,
Raisa tahu setelah ini kemungkinan ia akan tenggelam, serangan bertubi-tubi
membuatnya gila, tapi ia sangat sakit apa hidupnya sebegitu tidak beruntung
hanya karena wajah cantiknya. Ia menjadi benci pada wajah itu, wajah yang
membuatnya harus selalu berhadapan dengan petaka dan iri.
“Gadis
itu benar-benar gila, apa ia mengakui kalau ia melakukan hal buruk demi ikut
pemotretan ini.”
“Ckckck
tidak bisa kubayangkan wajah cantik sifat buruk.”
“Apa
ia sudah gila, merayu putri manajemen D’amour, karirnya akan segera lenyap.”
Raisa
bisa mendengar celetukan hinaan dari sekitarnya. Ia sudah tidak punya tenaga
untuk berkata-kata,energinya seperti terhisap jauh ke dasar bumi, seolah gaya
gravitasi yang mengalir hilang ia berada di ruang hampa.
Disisi
lain Marsya masih mengamuk seperti setan buas.
“Kau
sebegitu inginnya memiliki uang, dasar wanita murahan, kau menjual tubuhmu
dengan mudahnya ya ke semua orang yang bisa kau jadikan perisai, koneksi.”
Raisa
sudah tidak mempedulikannya lagi, ia bagai dilempar telur busuk, nasi basi,
sayur basi ke wajahnya.
“Benar,
tujuan ku hanya uang uang uang dan uang, memangnya kenapa, tidak hanya orang
miskin yang perlu uang, kalian yang kaya pun mati-matian bekerja setiap hari
menimbun uang. Sama saja khan.” Raisa mengeluarkan kata-kata dengan pedih, ia
tahu bukan saatnya menangis, ia harus kuat bodoh jika ia menangisi segala
hinaan ini. Memang mereka tahu apa, semua itu urusannya jual diri atau apapun
toch yang bertanggung jawab bukan orang lain tapi dia sendiri.
“Dia
sudah gila ya.”
“Wanita
ini benar-benar tidak bisa berpikir.”
Hari
itu Raisa merasa akhir hidupnya sudah dekat, ia hanya berdiri di tengah set
pemotretan dengan wajah bengis dan tidak peduli.
Di
kejauhan seorang pria menatap kejadian itu, tadinya ia tidak peduli tapi
sesuatu menarik perhatiannya.
“Excuse
me, what’s going on here?” Ia bertanya kepada pria yang berdiri tidak jauh
darinya.
Pria
disampingnya berjingkat mendekat ke arahnya, menjelaskan panjang lebar
informasi yang bisa ia berikan.
“Oh
begitu.” Pria itu tidak mengerti bahasa Indonesia jadi makian dan jeritan yang
tadi ia dengar ia tanyakan satu persatu, walaupun tidak detail dan tidak tahu
duduk permasalahannya ia bisa menangkap sesuatu serta menyimpulkan sedikit
benang merah yang tampak.
Ia
menatap Raisa yang seperti mematung di tengah kerumunan, otaknya mendapat ide
brilian sesuatu yang ia rasa akan menjadi solusi dari permasalahan yang
dihadapinya.
“Mr.
Joko bisakah anda mencari info profil tentang gadis itu.”
Pak
Joko yang sejak tadi disampingnya kaget. Tapi ia tidak menolak, hanya
mengangguk pelan.
Jika sudah ada takdir yang tertulis, benang
merah yang tersambung sejak semula, ke ujung dunia pun kau pergi takdir akan
mengikutimu sesuai jalurnya, bahkan akan menyeret ku hingga terombang-ambing
sampai kau menyadarinya.
Telpon
itu berdering sejam yang lalu, Raisa pun sudah mengangkatnya dan berkomunikasi
dengan pemilik suara diseberang. Ia masih tidak bisa mencerna apa yang barusan
ia dengar, setelah kejadian tempo hari ia mengurung diri di kontrakan kecil
berselimut tebal dan hanya berbaring menatap langit-langit rumah. Makan pun ia
tidak selera, entah matahari sudah muncul dan tenggelam ia tidak peduli,
hatinya sangat sedih tapi ia tidak bisa menangis, tidak ia berjanji untuk kuat
menghadapi semuanya.
Pria
di telpon tadi mengatakan ada seseorang yang ingin menemuinya, berbicara
padanya di sebuah hotel. Apa orang itu sudah gila, dari mana mereka tahu nomor
hp nya.
Ia
memandang hp yang sudah ketinggalan zaman, hp pertama yang ia beli sejak
memutuskan memasuki dunia modeling, ia kira gampang namun wajah cantik bukan
modal utama. Beberapa waktu lalu seorang pengusaha mengajaknya untuk tidur dan
berjanji akan menaikan popularitasnya, hanya semalam Raisa diminta melayani,
itu membuat Raisa ingin muntah dan membunuh pria dihadapannya. Sekarang ini
disaat keadaannya terpuruk, ia sudah dikeluarkan dari manajemen karena dianggap
menjatuhkan citra sebagai seorang model dan juga ia sangat memerlukan uang,
astaga kepalanya mau pecah. Andai hidup bisa di pause, skip, next maka ia
memutuskan untuk pause sebentar memulihkan energinya yang hilang. Tapi apa daya
hidup bukan televisi atau barang elektronik yang bisa dikendalikan sesuka hati.
Dengan
perasaan malas ia menatap hp nya lagi sekarang apa yang harus ia lakukan, apa
ia akan menemui penelpon itu. Ia sadar rumor tentang dirinya sudah berhembus
tidak terkendali, mungkin saja sudah ada berita di koran ‘Model Y merayu
tunangan Putri Manajemen ABC demi meningkatkan popularitasnya’ hati Raisa
sedih, tidak ia tidak boleh menyerah harus ada yang ia lakukan, pertama ia
harus menemui penelpon itu meluruskan sesuatu dan menanyakan apa maunya.
Hotel
Sheraton menjulang dengan angkuh, Raisa membetulkan topinya lalu melangkah
memasuki lobi, penelpon itu memberi tahunya untuk menuju lantai 12 nomor 205.
Raisa berjalan ke arah lift, pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang motif
penelpon, dari suaranya pria setengah baya, apakah orang itu om-om atau
pengusaha iseng seperti waktu itu. Ia teringat adegan film Indonesia dimana
seorang remaja yang akan menjual keperawanannya kepada seorang om-om yang tidak
ia ketahui, Raisa merasa sekarang adegan itu mirip dirinya. Ah gila kenapa ia
tidak berhati-hati dulu sebelum memutuskan memnuhi keinginan penelpon yang ia
tidak ketahui siapa.
Angka
205 terpampang dihadapannya, Raisa berdiri disitu sejak 10 menit yang lalu, setelah
mengumpulkan keberanian ia menekan tombol dan menunggu dengan perasaan takut.
Saat pintu dibuka Raisa menutup matanya, ia takut akan pikiran-pikiran buruk
yang tadi berkelebat.
“Come
in.” Suara lembut, dingin dan tegas seperti perintah yang tidak bisa ditolak.
Raisa
merasa suara itu berbeda dengan penelpon kemarin, apa ini apa ia salah orang.
Raisa mulai panik, ia mematung mencari pemilik suara yang menghilang ke dalam.
“Hey,
come in, nanti orang pikir kau menguntit ku jika berdiri disitu terus.”
Kalimat
dengan english fasih, Raisa bisa mencernanya dengan mudah, ia menyeret kakinya
memasuki kamar hotel, desain mewah menyambutnya ia bisa menilai dengan cepat
dan akurat kalau pria satu ini bukan pria sembarangan.
“Don’t
forget close the door.”
What,
perintah lagi dia pikir dirinya siapa, Raisa hampir saja protes tapi ia
mengurungkan niatnya dan berbalik ke arah pintu.
“Welcome.”
Pria
itu bukan sosok om om yang dia bayangkan, jauh lebih muda, tampan, keren,
bersahaja, berkharisma, seperti ada aura menawan disekelillingnya. Kemeja putih
dengan tangan digulung, celana bahan yang terlihat sangat mahal membungkus
badannya dengan sempurna. Raisa memberinya angka 9, harusnya ia bisa mendapat
angka 10 jika saja tadi ia tidak asal perintah.
Hey
barusan apa yang terlintas dibenaknya, Raisa menepuk dahinya sesaat, ia bahkan
lupa apa yang menjadi tujuan utamanya kesini.
“Take
a seat, please.”
Perintahnya
santai, wow posisinya duduk pun tampak indah pria ini manusia bukan sich kenapa
visualisasinya bisa nyaris sempurna begini.
“Aku
tahu, kau pasti bingung kenapa aku meminta mu bertemu secara privat. Aku Inha,
Inha Kazehaya, aku sudah membaca profil
mu.” Ia menukas seenaknya, mengagetkan saja bagaimana ia bisa mendapatkan
profil Raisa.
“Kau
pasti bingung kenapa aku bisa mendapatkan profilmu, kebetulan brand pakaian
kami salah satu modelnya adalah kau. Maaf jika terkesan tidak sopan.”
Wah
selain tampan ia juga cenayang, hebat bisa menebak pikiran, apa itu barusan ia
minta maaf karena lancang, tapi sepertinya bukan minta maaf dengan penuh
perasaan hanya kata-kata formal seperti biasa mengucapkan hallo, selamat pagi,
selamat siang.
“Apa
kau memang seperti ini, suka berdiam diri, padahal di set pemotretan itu kau
berbeda.” Pria itu menelitinya dengan tajam.
Ya’ampun
dia ada disana, dan melihat semuanya. Raisa tahu ini bukan hal yang bisa ia
hindari dan barusan pria ini juga apa yang ia pikirkan. Melihat matanya menilai
Raisa dari atas ke bawah seolah matanya terbuat dari lensa tembus pandang.
“What
do you mean?” ia balas memandang pria itu.
“ah
kau bisa bicara juga, begini aku ingin mengajukan sebuah pekerjaan padamu, aku
berjanji jika kau menyanggupinya tidak hanya uang tapi karirmu akan syuuuut...”
ia mengarahkan jarinya naik ke atas. “Melambung.”
Raisa
menatapnya, pekerjaan apa itu, mana ada keberuntungan yang datang Cuma-Cuma
memangnya pria di depannya ini Jin yang ia selamatkan.
“Jangan
menatapku seperti itu, ah aku tahu kau pasti bingung, kau bisa akting khan?”
Apapula
ini akting, apa dia mau mengajak bermain di film porno.
“Sir,
akting, apa anda maksud berakting di film porno.” Tanya Raisa polos.
Inha
menautkan keningnya menatap balik, sesaat kemudian meledak lah tawanya.
“Muahahaha,
kau tahu betapa polosnya dirimu, apa aku terlihat seperti produser film porno,
ah padahal wajah ku tampan begini mengapa kau bisa berpikir begitu.” Ia masih
tidak berhenti tertawa wajahnya memerah seketika.
“Cih,
apanya yang lucu ia membodohiku ya.” Gerutu
Raisa kesal pria ini kenapa sich seperti anak
kecil yang menang bertarung dan mendapatkan hadiahnya.
“Apa
sudah selesai tertawanya, aku bukan badut dan lagi jika anda ingin membual
bukan dengan saya.” Raisa berdiri berniat meninggalkan kamar hotel itu
secepatnya.
“Nona
Raisa, apa benar anda wanita yang mudah tertarik dengan uang.”
Ctaaass,
Raisa merasa tali temali kesabarannya terputus pria ini ternyata brengsek.
“Benar,
siapapun perlu uang khan kenapa harus menutupi hal itu, ada yang salah?”
Tantang Raisa menatap Inha dengan tatapan mata yang berkilat.
Wow,
wanita ini seperti kucing liar, batin Inha sesaat. Apa ia tidak mudah
ditaklukan.
“Tapi
apa anda sebegitu terobsesinya dengan
uang, apa benar begitu?”
Astaga
kenapa sich pria ini, otaknya rusak kenapa ia cerewet seperti ibu-ibu.
“Apa
masalahnya jika aku bekerja keras dan mendapatkan uang?”
Inha
menimbang sesaat, ia tahu tanggung jawab dan beban apa yang akan ia emban
segera setelah ini, sejak awal ia ingin melakukannya, tekadnya sudah bulat,
wanita di depannya ini adalah pilihan tepat.
“Aku
akan memberi honor yang besar dan kau harus bisa bekerjasama.’
Raisa
berpikir, saat ini mendesak ia sangat perlu uang keadaannya sedang genting.
Setelah menghembuskan nafas ia pun kembali duduk, menatap Inha dengan pandangan
sedikit melunak.
“Baiklah
aku akan mendengarkan, tapi apa bisa honornya dibayar dimuka.”
Inha
bisa menebak menundukan kucing liar bukan masalah mudah harus ada pengorbanan,
permainan trik untuk memancing reaksinya.
“Okey.
Listen to me.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar