Rabu, 04 April 2012

TIME MACHINE


Cast
Kania Raisa
Park Inha- inha Kazehaya-
Takeshi Hirozawa

                                                                     Chapter 1 

Dalam hidup ada banyak garis takdir yang saling bersinggungan dan bersilangan. Seperti meniup debu  dengan tangan terbuka, berhamburan tak berjejak, seperti angin yang berdesir tidak terlihat namun terasa. Kita yang seperti titik titik kecil saling berjauhan ternyata merupakan sumbu ordinat yang saling terhubung bagaikan sumbu X dan Y membentuk sudut-sudut di kertas putih. Seperti grafik yang turun naik, kadang tidak terkendali, kadang tampak tenang. Seperti menari dengan irama riang, seperti tarian pedang indah namun berbahaya di dekati, meskipun kita ordinat X dan Y yang berbeda namun di ordinat yang sama kita bertemu tanpa kita tahu tanpa kita duga. Jika takdir ini berujung menuntunku padamu maka aku harap meskipun grafik yang timbul tidak beraturan namun dibalik itu terdapat keselarasan yang kuat agar aku merasa pantas berada disampingmu dan menerima kehangatanmu.

Raisa memukul-mukul lututnya pelan dengan kepalan tangan mungilnya. Sudah lebih dari 3 jam ia bergaya mengikuti arahan potografer tapi sepertinya ia tidak mendapatkan hasil yang diinginkan. Suasana pemotretan hari itu outdoor, Raisa hanya salah satu dari sekian model yang turut serta di even itu. Dia bukan model utamanya, hanya model pendukung tapi sepertinya semua kesalahan dilimpahkan kepadanya.
“Ya, kamu yang bergaun kuning, bukankah saya sudah katakan lemaskan lututmu, angkat sedikit dagumu, buat dirimu nyaman, bukan tegang begitu.” Bentak fotografer dengan suara kasar.
Semua mata memandang Raisa, ada yang sebal, ada yang iba, ada yang penasaran.
“Apa dia bodoh, kenapa sedari tadi ia selalu melakukan kesalahan.”
“Ya’ampun dia lagi dia lagi. Kenapa dia tidak bisa melakukan hal yang benar sich.”
“Cih, wajahnya saja yang cantik, sepertinya dia benar-benar tidak punya bakat.”
Raisa merasa kupingnya akan segera menjadi semerah cabe matang mendengar semua celetukan itu, astaga kenapa sepertinya semua menganggapnya gadis bodoh, apa yang salah pada fotografer itu sejak tadi ia sudah memberikan performa terbaiknya, lagipula jika dia memang fotografer handal apa susahnya ia mengedit dan memperbaiki hasil akhirnya dengan sentuhan yang indah.
“Break, kita lanjutkan 15 menit lagi.”
Fotografer itu meninggalkan kursinya sembari menatap Raisa tajam.
Raisa merasa bulu kuduknya berdiri, dunia modelling benar-benar segila ini kah, ia memang bukan model terkenal hanya model biasa yang terkadang turut serta di even-even yang juga biasa. Kali ini ia beruntung bisa bergabung di pemotretan salah satu brand pakaian kasual meskipun bagiannya tidak banyak. Entah kenapa ia tidak tahu fotografer itu malah memfokuskan diri padanya sejak shoot pertama.
Raisa berjalan gontai meninggalkan set pemotretan ia merasa akan segera meledak jika lama-lama berada disitu, ia perlu udara segar, udara disitu tercemar dengan mulut-mulut pedas yang sambar menyambar. Ia merasa seperti ikan kecil yang berenang tak tentu arah karena lingkungan yang ia datangi tercemar limbah yang menyesakan.
Semua mata memandang Raisa dengan jijik juga merendahkan. Ia bukannya tidak tahu, ia hanya mencoba tidak peduli. Apapun yang orang katakan tentang dirinya ia akan menutup telinga dan terus melangkah maju, demi uang tidak ada obsesi lain dalam hidupnya hanya uang.
Gosip-gosip tak sedap yang beredar pun ia anggap lalat-lalat pengganggu tanpa perlu ia beri perhatian. Hidup seperti ini memang tidak mudah rasa sepi dan sendiri juga perasaan terkucilkan kerap ia alami, tapi ia sudah bertekad untuk menanggung semuanya sampai akhir.
Bug!! Raisa menabrak seseorang, ia mendengar jeritan yang bukan dari mulutnya.
Dasar aneh Raisa yang tersungkur kenapa dia yang mengaduh seperti singa betina lapar.
Raisa menatap pergelangan tangannya, sial ada lecet disana dan baju yang ia pakai adalah properti perusahaan. Belum sempat ia bangkit sebuah tangan merenggutnya, membuatnya berdiri terhuyung-huyung hilang keseimbangan.
“Bodoh, kau tidak lihat apa yang barusan kau lakukan, baju ini akan digunakan untuk sesi pemotretan selanjutnya, dan ini coba kau lihat kau membuat minumanku tumpah.”
Gadis itu semakin mengeluarkan caci maki membabi buta, membuat Raisa seperti seonggok kotoran yang nyasar di etalase berlian mahal. Dia model utama pemotretan kali ini, juga anak seorang pemilik manajemen kenamaan.
“Kamu pikir wajah cantikmu bisa dengan mudah menaklukan dunia, semua orang akan memaafkan perbuatanmu. Salah. Kau memuakan, kau sengaja melakukan semua ini untuk menjatuhkanku ya. Dengan pura-pura menabrakku kau berharap model utamanya diganti lalu kau yang hanya numpang lewat tanpa ada kemampuan dan bakat menggunakan kesempatan ini untuk menggantikanku.”
Ya tuhan Raisa tidak tahan lagi gadis ini entah mengapa mereka selalu terlibat masalah, Raisa selama ini berdiam diri dan menahan amarah didadanya. Tangannya terkepal, gerahamnya mengatup menahan emosi.
“Kau, apa harus mengeluarkan amarahmu seperti ini. Kau bilang dirimu model utamanya, harusnya kau bisa menjaga sikap dan percaya diri, bukannya malah mencecarku.” Raisa memberanikan diri membuka mulutnya perlahan.
“Apa, kau bilang aku tidak percaya diri, beraninya kau.” Ia hendak mengayunkan tangannya menampar Raisa. Seorang pria datang dengan setelan rapi menahan tangannya.
“Honey, sudahlah untuk apa mencari ribut disini, dilihat orang.” Pria itu berusaha menenangkan wanita yang ia panggil Honey. “Lihatlah riasanmu akan rusak jika kau marah, apa kau ingin berita yang keluar dikoran memajang fotomu yang marah-marah.”
Wanita yang Raisa kenal dengan nama Marsya itu masih menatapnya tajam, seperti sinar laser yang siap membelah seluruh inchi badan Raisa.
Ia mengalihkan pandangannya dari Raisa ke pria tadi.
“Kau, lagi-lagi membelanya, apa yang telah ia lakukan padamu hingga kau melindunginya seperti ini. Dan kau, apa kau merayu tunanganku, apa kau tidur dengannya hingga namamu masuk di daftar model hari ini. Menjijikan, kau segitu inginnya mendapatkan uang ya, dasar kampungan.” Marsya menyiram sisa air mineral digelasnya ke wajah Raisa.
Raisa merasa seluruh sel-selnya sebentar lagi akan meledak, ia menyeringai menatap Marsya.
“dari mana kau punya pemikiran seperti itu? Apa kau tidak mempercayai tunanganmu? Cih, kalau kau benar-benar berpikir dia tidur denganku seharusnya kau jijik padanya karena aku telah menyentuh semua yang seharusnya hanya menjadi dan boleh disentuh dengan tanganmu.”
Raisa sudah tidak peduli, ia bahkan menganggap dirinya gila.
“Kau, berani-beraninya ya berkata begitu dihadapanku, kalau pun itu terjadi semua karena kau penyihir, kau menggodanya.”
Marsya mengamuk menjangkau Raisa, ingin mencabik-cabik gadis itu tak bersisa.
Suasana yang tadinya sudah tegang kini semakin heboh, beberapa orang menenangkan Marsya bahkan tunanagannya tampak kesakitan menghadang semua pukulan dan tendangannya.
“Apapun caranya jika semua itu kau yakin benar tidakkah kau berpikir ia lelaki yang mudah, seharusnya kalau ia benar-benar mencintaimu entah itu bidadari atau penyihir baginya tidak akan tergoda.” Kata demi kata melompat tidak terkendali, Raisa tahu setelah ini kemungkinan ia akan tenggelam, serangan bertubi-tubi membuatnya gila, tapi ia sangat sakit apa hidupnya sebegitu tidak beruntung hanya karena wajah cantiknya. Ia menjadi benci pada wajah itu, wajah yang membuatnya harus selalu berhadapan dengan petaka dan iri.
“Gadis itu benar-benar gila, apa ia mengakui kalau ia melakukan hal buruk demi ikut pemotretan ini.”
“Ckckck tidak bisa kubayangkan wajah cantik sifat buruk.”
“Apa ia sudah gila, merayu putri manajemen D’amour, karirnya akan segera lenyap.”
Raisa bisa mendengar celetukan hinaan dari sekitarnya. Ia sudah tidak punya tenaga untuk berkata-kata,energinya seperti terhisap jauh ke dasar bumi, seolah gaya gravitasi yang mengalir hilang ia berada di ruang hampa.
Disisi lain Marsya masih mengamuk seperti setan buas.
“Kau sebegitu inginnya memiliki uang, dasar wanita murahan, kau menjual tubuhmu dengan mudahnya ya ke semua orang yang bisa kau jadikan perisai, koneksi.”
Raisa sudah tidak mempedulikannya lagi, ia bagai dilempar telur busuk, nasi basi, sayur basi ke wajahnya.
“Benar, tujuan ku hanya uang uang uang dan uang, memangnya kenapa, tidak hanya orang miskin yang perlu uang, kalian yang kaya pun mati-matian bekerja setiap hari menimbun uang. Sama saja khan.” Raisa mengeluarkan kata-kata dengan pedih, ia tahu bukan saatnya menangis, ia harus kuat bodoh jika ia menangisi segala hinaan ini. Memang mereka tahu apa, semua itu urusannya jual diri atau apapun toch yang bertanggung jawab bukan orang lain tapi dia sendiri.
“Dia sudah gila ya.”
“Wanita ini benar-benar tidak bisa berpikir.”
Hari itu Raisa merasa akhir hidupnya sudah dekat, ia hanya berdiri di tengah set pemotretan dengan wajah bengis dan tidak peduli.
Di kejauhan seorang pria menatap kejadian itu, tadinya ia tidak peduli tapi sesuatu menarik perhatiannya.
“Excuse me, what’s going on here?” Ia bertanya kepada pria yang berdiri tidak jauh darinya.
Pria disampingnya berjingkat mendekat ke arahnya, menjelaskan panjang lebar informasi yang bisa ia berikan.
“Oh begitu.” Pria itu tidak mengerti bahasa Indonesia jadi makian dan jeritan yang tadi ia dengar ia tanyakan satu persatu, walaupun tidak detail dan tidak tahu duduk permasalahannya ia bisa menangkap sesuatu serta menyimpulkan sedikit benang merah yang tampak.
Ia menatap Raisa yang seperti mematung di tengah kerumunan, otaknya mendapat ide brilian sesuatu yang ia rasa akan menjadi solusi dari permasalahan yang dihadapinya.
“Mr. Joko bisakah anda mencari info profil tentang gadis itu.”
Pak Joko yang sejak tadi disampingnya kaget. Tapi ia tidak menolak, hanya mengangguk pelan.




Jika sudah ada takdir yang tertulis, benang merah yang tersambung sejak semula, ke ujung dunia pun kau pergi takdir akan mengikutimu sesuai jalurnya, bahkan akan menyeret ku hingga terombang-ambing sampai kau menyadarinya.

Telpon itu berdering sejam yang lalu, Raisa pun sudah mengangkatnya dan berkomunikasi dengan pemilik suara diseberang. Ia masih tidak bisa mencerna apa yang barusan ia dengar, setelah kejadian tempo hari ia mengurung diri di kontrakan kecil berselimut tebal dan hanya berbaring menatap langit-langit rumah. Makan pun ia tidak selera, entah matahari sudah muncul dan tenggelam ia tidak peduli, hatinya sangat sedih tapi ia tidak bisa menangis, tidak ia berjanji untuk kuat menghadapi semuanya.
Pria di telpon tadi mengatakan ada seseorang yang ingin menemuinya, berbicara padanya di sebuah hotel. Apa orang itu sudah gila, dari mana mereka tahu nomor hp nya.
Ia memandang hp yang sudah ketinggalan zaman, hp pertama yang ia beli sejak memutuskan memasuki dunia modeling, ia kira gampang namun wajah cantik bukan modal utama. Beberapa waktu lalu seorang pengusaha mengajaknya untuk tidur dan berjanji akan menaikan popularitasnya, hanya semalam Raisa diminta melayani, itu membuat Raisa ingin muntah dan membunuh pria dihadapannya. Sekarang ini disaat keadaannya terpuruk, ia sudah dikeluarkan dari manajemen karena dianggap menjatuhkan citra sebagai seorang model dan juga ia sangat memerlukan uang, astaga kepalanya mau pecah. Andai hidup bisa di pause, skip, next maka ia memutuskan untuk pause sebentar memulihkan energinya yang hilang. Tapi apa daya hidup bukan televisi atau barang elektronik yang bisa dikendalikan sesuka hati.
Dengan perasaan malas ia menatap hp nya lagi sekarang apa yang harus ia lakukan, apa ia akan menemui penelpon itu. Ia sadar rumor tentang dirinya sudah berhembus tidak terkendali, mungkin saja sudah ada berita di koran ‘Model Y merayu tunangan Putri Manajemen ABC demi meningkatkan popularitasnya’ hati Raisa sedih, tidak ia tidak boleh menyerah harus ada yang ia lakukan, pertama ia harus menemui penelpon itu meluruskan sesuatu dan menanyakan apa maunya.



Hotel Sheraton menjulang dengan angkuh, Raisa membetulkan topinya lalu melangkah memasuki lobi, penelpon itu memberi tahunya untuk menuju lantai 12 nomor 205. Raisa berjalan ke arah lift, pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang motif penelpon, dari suaranya pria setengah baya, apakah orang itu om-om atau pengusaha iseng seperti waktu itu. Ia teringat adegan film Indonesia dimana seorang remaja yang akan menjual keperawanannya kepada seorang om-om yang tidak ia ketahui, Raisa merasa sekarang adegan itu mirip dirinya. Ah gila kenapa ia tidak berhati-hati dulu sebelum memutuskan memnuhi keinginan penelpon yang ia tidak ketahui siapa.
Angka 205 terpampang dihadapannya, Raisa berdiri disitu sejak 10 menit yang lalu, setelah mengumpulkan keberanian ia menekan tombol dan menunggu dengan perasaan takut. Saat pintu dibuka Raisa menutup matanya, ia takut akan pikiran-pikiran buruk yang tadi berkelebat.
“Come in.” Suara lembut, dingin dan tegas seperti perintah yang tidak bisa ditolak.
Raisa merasa suara itu berbeda dengan penelpon kemarin, apa ini apa ia salah orang. Raisa mulai panik, ia mematung mencari pemilik suara yang menghilang ke dalam.
“Hey, come in, nanti orang pikir kau menguntit ku jika berdiri disitu terus.”
Kalimat dengan english fasih, Raisa bisa mencernanya dengan mudah, ia menyeret kakinya memasuki kamar hotel, desain mewah menyambutnya ia bisa menilai dengan cepat dan akurat kalau pria satu ini bukan pria sembarangan.
“Don’t forget close the door.”
What, perintah lagi dia pikir dirinya siapa, Raisa hampir saja protes tapi ia mengurungkan niatnya dan berbalik ke arah pintu.
“Welcome.”
Pria itu bukan sosok om om yang dia bayangkan, jauh lebih muda, tampan, keren, bersahaja, berkharisma, seperti ada aura menawan disekelillingnya. Kemeja putih dengan tangan digulung, celana bahan yang terlihat sangat mahal membungkus badannya dengan sempurna. Raisa memberinya angka 9, harusnya ia bisa mendapat angka 10 jika saja tadi ia tidak asal perintah.
Hey barusan apa yang terlintas dibenaknya, Raisa menepuk dahinya sesaat, ia bahkan lupa apa yang menjadi tujuan utamanya kesini.
“Take a seat, please.”
Perintahnya santai, wow posisinya duduk pun tampak indah pria ini manusia bukan sich kenapa visualisasinya bisa nyaris sempurna begini.
“Aku tahu, kau pasti bingung kenapa aku meminta mu bertemu secara privat. Aku Inha, Inha  Kazehaya, aku sudah membaca profil mu.” Ia menukas seenaknya, mengagetkan saja bagaimana ia bisa mendapatkan profil Raisa.
“Kau pasti bingung kenapa aku bisa mendapatkan profilmu, kebetulan brand pakaian kami salah satu modelnya adalah kau. Maaf jika terkesan tidak sopan.”
Wah selain tampan ia juga cenayang, hebat bisa menebak pikiran, apa itu barusan ia minta maaf karena lancang, tapi sepertinya bukan minta maaf dengan penuh perasaan hanya kata-kata formal seperti biasa mengucapkan hallo, selamat pagi, selamat siang.
“Apa kau memang seperti ini, suka berdiam diri, padahal di set pemotretan itu kau berbeda.” Pria itu menelitinya dengan tajam.
Ya’ampun dia ada disana, dan melihat semuanya. Raisa tahu ini bukan hal yang bisa ia hindari dan barusan pria ini juga apa yang ia pikirkan. Melihat matanya menilai Raisa dari atas ke bawah seolah matanya terbuat dari lensa tembus pandang.
“What do you mean?” ia balas memandang pria itu.
“ah kau bisa bicara juga, begini aku ingin mengajukan sebuah pekerjaan padamu, aku berjanji jika kau menyanggupinya tidak hanya uang tapi karirmu akan syuuuut...” ia mengarahkan jarinya naik ke atas. “Melambung.”
Raisa menatapnya, pekerjaan apa itu, mana ada keberuntungan yang datang Cuma-Cuma memangnya pria di depannya ini Jin yang ia selamatkan.
“Jangan menatapku seperti itu, ah aku tahu kau pasti bingung, kau bisa akting khan?”
Apapula ini akting, apa dia mau mengajak bermain di film porno.
“Sir, akting, apa anda maksud berakting di film porno.” Tanya Raisa polos.
Inha menautkan keningnya menatap balik, sesaat kemudian meledak lah tawanya.
“Muahahaha, kau tahu betapa polosnya dirimu, apa aku terlihat seperti produser film porno, ah padahal wajah ku tampan begini mengapa kau bisa berpikir begitu.” Ia masih tidak berhenti tertawa wajahnya memerah seketika.
“Cih, apanya yang lucu ia membodohiku ya.” Gerutu
 Raisa kesal pria ini kenapa sich seperti anak kecil yang menang bertarung dan mendapatkan hadiahnya.
“Apa sudah selesai tertawanya, aku bukan badut dan lagi jika anda ingin membual bukan dengan saya.” Raisa berdiri berniat meninggalkan kamar hotel itu secepatnya.
“Nona Raisa, apa benar anda wanita yang mudah tertarik dengan uang.”
Ctaaass, Raisa merasa tali temali kesabarannya terputus pria ini ternyata brengsek.
“Benar, siapapun perlu uang khan kenapa harus menutupi hal itu, ada yang salah?” Tantang Raisa menatap Inha dengan tatapan mata yang berkilat.
Wow, wanita ini seperti kucing liar, batin Inha sesaat. Apa ia tidak mudah ditaklukan.
“Tapi apa anda sebegitu  terobsesinya dengan uang, apa benar begitu?”
Astaga kenapa sich pria ini, otaknya rusak kenapa ia cerewet seperti ibu-ibu.
“Apa masalahnya jika aku bekerja keras dan mendapatkan uang?”
Inha menimbang sesaat, ia tahu tanggung jawab dan beban apa yang akan ia emban segera setelah ini, sejak awal ia ingin melakukannya, tekadnya sudah bulat, wanita di depannya ini adalah pilihan tepat.
“Aku akan memberi honor yang besar dan kau harus bisa bekerjasama.’
Raisa berpikir, saat ini mendesak ia sangat perlu uang keadaannya sedang genting. Setelah menghembuskan nafas ia pun kembali duduk, menatap Inha dengan pandangan sedikit melunak.
“Baiklah aku akan mendengarkan, tapi apa bisa honornya dibayar dimuka.”
Inha bisa menebak menundukan kucing liar bukan masalah mudah harus ada pengorbanan, permainan trik untuk memancing reaksinya.
“Okey. Listen to me.”




See You at Chapter 2 ^^, mohon komentar nya ya bagi yang baca sejelek2 nya author terima. Makasih.. ^___^ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar